#50 BACK

89 6 0
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih lima belas menit saat Fika, Raka, dan Sofyan sudah berada di bandara. Sebelum jam keberangkatan, mereka memutuskan untuk sarapan di salah satu kafe. Di sanalah Fika duduk termangu, dengan satu tangan menopang dagu. Isi kepalanya tidak jauh-jauh memikirkan soal Kiki dan ekspetasi-ekspetasi yang gagal ia lakukan selama liburan di sini. Bayangan indahnya tentang pergi ke beberapa kota yang menakjubkan sirna begitu saja. Faktanya berbanding terbalik.

"Ah, akhirnya pulang juga." Raka meletakkan secangkir coklat hangatnya.

"Maafin Papa gak sempat ajak kalian pergi kemana-mana selama liburan di sini. Kalian tahu kan gimana seringnya atasan Papa nelfon dari pagi sampai siang, ngajakkin pertemuan pribadi, apalah,"

Fika menghela napas dan senyuman terukir di bibirnya. "Gak apa-apa kok Pa, lagian kita kan udah gede. Ada Nando juga di sini yang ngajakin jalan-jalan."

"Kalo gak ada Nando?" tanya laki-laki di sampingnya yang kemudian melahap donat tiramisu.

Tidak ada jawaban dari Fika karena ia tahu bahwa pertanyaan Raka barusan bukanlah hal yang harus dihiraukan.

Raka mendengus. "Sombong. Kalo lagi gak ada temen baru deh, datengnya ke gue."

"Loh, lo juga kok. Emangnya sekarang yang sibuk sama diri sendiri siapa?"

"Gue gak pernah sibuk sama diri sendiri."

Sofyan yang sudah mulai terbiasa dengan keributan itu, mengambil ponsel dari saku dan menyambungkan sinyal wifi. Setidaknya itu lebih baik daripada mengikuti obrolan kedua anaknya yang tidak akan berujung.

"Justru gue malah yang selalu ingin tahu gimana perkembangan lo sekarang. Dari hal-hal kecil kayak kenapa akhir-akhir ini lo lebih tertutup, sampai hal-hal yang sebenernya gue gak perlu tahu kayak di mana Kiki sekarang. Karena yang gue lihat selama ini cuma Nando lagi, Nando lagi."

Kedua alis Fika berkerut. Ia tidak suka kalau Raka memang benar dan ada hal lain yang ia tidak suka. "Lo ngerasa gak kalo lo sekarang nge-gas?"

"Ya udah sekarang gue tanya, kenapa? Kenapa lo kayaknya sekarang ini lebih terbuka sama orang yang baru lo kenal, semacam Nando? Lo gak inget gue ini siapa? Gue ini keluarga lo Fik, di mana hal se rumit apapun itu seharusnya lo tumpahin lebih dulu ke gue dari pada orang lain."

"Omongan lo kayak cewe, ribet."

"Karena gue gak suka jadi orang yang tertutup."

"Dan gue bukan orang yang akan nyusahin lo dengan permasalahan apapun itu yang gue punya. Toh, lo juga akan ngelakuin hal yang sama." Balas Fika begitu cepat, mengatakan sesingkat mungkin alasan kenapa selama ini ia merasa lebih baik menyimpan semuanya sendiri.

"You know that we need to talk -i mean another significant time to talk beside of get along with this fuckin' convos."

--

Nando membaringkan diri di sofa. Apartmentnya yang selalu sepi lah yang membuat ia seringkali memikirkan Kiki. Tidak pernah satu hari pun ia luput berusaha menghubungi Kiki dan hari ini mungkin adalah harapannya yang terakhir.

Tersambung. Panggilan itu tersambung dan dengan cepat Nando terduduk, menunggu nada sambung itu diangkat oleh si pengguuna ponsel.

"Ha—"

"E anak monyet, kemana aja hah? Lo di mana sekarang?"

"Oke, tunggu—"

"Lo balik dan omongin baik-baik ke Fika. Gue gak mau tau lagi alesannya, gue gak mau lagi ada sangkut paut—"

"Did she tell you that she miss me?"

Nando tertawa sumbang. "If she did, then how does it feel to you? A relieve? A relieve knowing that she keep hurting herself by hoping onto nothing?"

"Lo gak ngerti,"

"Emang gue gak ngerti sama sekali. Kadang gue ngerasa udah jadi orang tolol sedunia. Lo tau? Gue gak mau hal yang sama keulang lagi dengan skenario yang beda."

"Hal yang sama?"

"Tapi udah terlambat juga. Udah keulang." Nando menggeleng lemah, menyesali hal yang selama ini ia pendam sendiri.

"..."

"She got me feel like –some type of way."

Ada jeda yang cukup lama sebelum Kiki mengeluarkan suara. "Ya, i know this is how it goes."

"Omongin baik-baik ke Fika sebelum lo bebas pergi kemana aja. Please be a man."

"Do, sekarang lo bisa ngomong gitu karena gak sepenuhnya paham posisi gue."

"I totally understand."

"Thanks."

"Asalkan Fika milik gue." ujar Nando tanpa keraguan. "Give her to me."

"Do, gue gak suka cara kalimat lo barusan. Fika bukan barang."

Nando terkekeh. "Gue lebih gak suka sama lo yang labil. Di surat itu lo udah kasih kebebasan gue apapun asalkan Fika bisa lupain lo."

"But you guys need a time," suara Kiki terdengar lirih. Memang benar apa yang dikatakan Nando, tapi apakah secepat itu?

"We already had so much time, Ki. Definisi 'sayang' lo ke dia itu bukan apa-apa kalo lo cuma bisa biarin dia kesiksa batin sendirian. Dan gue merasa gagal jadi laki-laki tanpa ngelakuin apa-apa padahal gue tau semuanya. And since i notice how much i care about her, gue rasa sekarang udah waktunya untuk bikin keadaan membaik."

"Baik, semoga lo bukan orang yang salah. Dan setelah kegigihan itu, I trust you."

"Thanks, udah pernah sayang sama dia."

"Gue masih dan akan selalu."

"Ok, makasih udah izinin gue."

"Don't you dare to mess with her."

Nando tersenyum. "She'll be the happiest."

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now