#53

76 5 0
                                    

"Eh, udah bangun?" Kedua alis Raka terangkat. Sudah hampir tiga puluh menit ia memutuskan untuk duduk menemani Fika di UKS dan sekarang perempuan itu sedang mengucek kedua mata.

Fika mengerjap, matanya terasa perih sekaligus berat. "Eh, elo." ujar Fika pelan, lebih terdengar seperti gumaman yang tidak jelas. "Emang di kelas gak ada guru? Kok lo di sini?"

"Lo kenapa sih Fik?" tanya Raka langsung tanpa menggubris perkataan Fika.

"Gue cuma pusing tadi, belum sarapan."

"Gak usah bohong bisa gak?"

"Serius, gue emang lagi gak enak badan, Ka,"

Raka mengusap wajahnya dengan kedua tangan, bertumpu dengan kasur yang ada di depannya.

"Jangan kayak gini apa, gue bingung." ujar laki-laki itu berusaha untuk tidak putus asa. "Tertutup banget si sekarang. Kesel sendiri gue jadinya." Ia mendongak, menatap wajah Fika dengan lemah.

"Gue gak tau," kalimat itu lagi yang keluar dari mulut Fika. Bahkan perempuan itu merasakan tenggorokannya sakit hanya dengan mengatakan hal tersebut.

"Heh," kening Raka berkerut merasakan pening yang berkepanjangan. Kemudian ia meraih tangan Fika dan menggenggamnya. "Gue nanya serius,"

"Iya,"

"Iya apa, Afika Syifa? Yaa Allah,"

"Rasanya gue pengen udahan hidup aja deh." jawab Fika asal.

"Maksudnya?"

"Ya, gue pengen mati aja gitu."

Raka terdiam, ia sama sekali tidak suka mendengar lelucon seperti itu. Genggaman tangannya meregang, memandang Fika dengan tatapan kosong. "Gue bilang serius ya serius. Jawab yang serius." Terdengar perubahan intonasi pada kalimat yang terlontar dari mulut Raka. Laki-laki itu tidak paham kenapa perempuan yang sedang berbaring di hadapannya ini begitu sulit dimengerti.

Namun Fika tertawa sumbang mendengar itu. "Gue capek aja."

"Ya apa, capek gimana? Lo -ah. Pusing gue."

"Gue capek hidup, udah kan?"

Kedua mata Raka terpejam, ia menarik napas dengan berat. "Intinya, gue emang bukan sandaran lo lagi sih. Kedengeran alay pasti. Tapi emang gitu."

Dahaga yang dari tadi Fika rasakan, semakin terasa. Laki-laki yang ada di sampingnya memaksakan senyum dan mendengus sebelum kembali bersuara.

"Udah ada Nando kan ya? Sorry gue masih aja lupa."

"Lo gak seharusnya di sini, Ka. Harusnya lo sarapan bareng Bunga."

"Lo cemburu?" tanya Raka datar.

"How can I?"

Raka menunduk, meraih tangan Fika sekali lagi dan menggenggamnya pula sekali lagi.

"Jangan." ucap Fika pelan sambil menarik tangannya dengan cepat. "Jangan buang-buang waktu di sini."

"Fika, please. Seenggaknya lo jangan kayak gini. Gue pengin kayak dulu lagi, kayak pas kita masih kelas sepuluh. Semuanya nyenengin kan? Lo juga kangen itu kan?"

"But now we're a brother and sister. There will be no Kiki anymore, too. This is how it truly goes."

Raka terdiam, ia tahu kali ini Fika akan melanjutkan kalimatnya. Dan ia juga ingin tahu jawaban atas pertanyaan besarnya selama ini dimana kiki? Yang jawabannya bukan semata-mata karena Kiki sudah lulus SMA, Raka tahu pasti ada jawaban lain.

"He left." Fika tersenyum pahit, menoleh ke arah Raka, memandang wajah laki-laki itu dengan seksama. "But you leave me too."

Raut wajah Raka memohon penjelasan, seketika ia merasa menjadi orang paling bersalah di dunia.

"Egois ya gue?" tanya perempuan itu lemah.

"Makannya gue mau mati aja. Daripada hak orang gue ambil."

"Afika, I'm already yours. We're a brother and sister as you said." ujar Raka lirih. Ia tidak pernah menyangka, kecemburuan yang sejak dulu ia rasakan terhadap Fika dan Kiki, sekadang dirasakan oleh perempuan itu. "Lo mau gue putus sama Bunga aja?" tanyanya ragu.

"I know you finally loved her,"

Raka mengangguk pelan. "So much. But I love you much more." Baik dirinya sendiri maupun Fika, keduanya berani bersumpah bahwa itu pertama kalinya Raka mengatakan hal tersebut pada Fika.

Suhu tubuh Raka seketika menjadi dingin, tangannya bergemetar meraih tangan Fika. Kali ini Fika membiarkan itu. "Jadi, kasih tau sekarang. Ya?"

Fika bergeming.

"Kiki kemana? Biar gue cari,"

"Tangan lo dingin,"

"Jawab."

"Dia sakit. Dia pergi karena sayang sama gue. Gue tahu itu. Tapi susah bagi gue untuk bisa ngerti."

"Sekarang dia di mana?"

"Gak tahu."

"Emang dia sakit apa?"

"Ah udahlah."

"Oke iya, gak usah dipikirin dulu. Tidur lagi gih," Raka mengelus kepala Fika dengan tangan yang masih bergemetar akibat sejak mengatakan I love you much more. "Atau mau gue beliin soto ayam?"

"Maunya lo di sini aja."

"Cie, kangen sama gue kan,"

"Sempet-sempetnya bercanda sih lo?" ujar Fika sedikit tenang sambil merebahkan tubuhnya. "Gak ada guru ya?"

"Gak ada, selo. Bobo, bobo."

"Ah entar lo ninggalin."

"Kagak, sumpah. Gue mau main Ware Wolf nih."

"Oke, jangan main pokemon."

"Iyaaa bawel -eh iya kita udah gak dapet matpel tata boga lagi. Bete deh sekarang tata busana, gue kan gak ngerti jahit menjahit." ucap Raka panjang lebar sambil memainkan ponselnya dengan tampilan landscape setelah aplikasi permainannya terbuka.

"Gue juga gak bisa, Ka."

"Lo mah masak gak bisa, jahit apa lagi."

"Kalo Bunga?"

Raka mendongak, "Katanya mau tidur?"

"Hehehe," Fika menatap geli wajah Raka sebelum memejamkan matanya. Namun kemudian ia membuka mata lagi dan memanggil Raka. "Ka,"

"Panggilnya yang bener dong." ujar Raka masih menatap ponsel.

"Raka Agraha,"

"Ya?" Kali ini Raka tersenyum tipis dan menoleh.

"I love you too much more."

"Ulangin."

"I love you too much more?"

"Lagi plis," Raka menahan tawa.

Fika menarik bantal yang dari tadi menjadi sanggahan kepalanya, kemudian benda empuk itu ia letakkan di atas wajah untuk menutupi dirinya yang merasa malu secara tiba-tiba. "I love you my bro,"

Sekarang Raka bisa tertawa melihat tingkah laku perempuan di hadapannya. "Jangan lucu gitu dong, gue jadi pengen peluk."

Masih dengan wajah tertutup bantal, Fika berbicara. "Nanti gue ceritain semuanya ya. Tapi janji, harus didengerin. Kayak dulu ya, jangan sibuk sendiri lagi."

Kesekian kalinya Raka tertawa dan merasa lega.

Bingung mengakhiri cerita ini bagaimana.

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now