#33

125 13 0
                                    

Afika menopang dagu dengan kedua tangan di atas kasur, tersenyum sendiri, membayangkan hari Senin depan ia akan ke N Seoul Tower bersama Kiki. Ia tidak sabar mengunci gembok cinta, melempar kunci, dan mengabadikan cintanya dengan Kiki. Walaupun itu hanya mitos, tetap saja rasanya sangat romantis. Fika sudah tidak sabar menunggu hari Senin. Kalau dipikir-pikir, berarti waktunya di sini tinggal sedikit lagi. Tidak terasa juga. Entahlah, di kepalanya masih terbayang saat Kiki sedang menyetir mobil dan mengajaknya pergi hari Senin nanti.

"Nah, hari Senin nanti kita ke Love Lock."

"Serius?"

"Iyalah. Gue kan pengen mengabadikan cinta gue ke lo. I know, gak ada cinta yang abadi selain sama Tuhan. Tapi, gue cuma pengen ngasih simbol."

"Gue bahkan cuma pengen jalan-jalan aja di sana, gak se-serius itu mikirin love lock."

"Fik,"

"Apa?"

"Lo cantik."

"Coba ulangin,"

"Yang di sebelah gue sekarang ini adalah Afika Syifa, orangnya cantik, dan sekarang gue lagi mikirin betapa akan menyiksanya hidup gue kalo gak bisa jagain harta se-cantik ini."

--

Kemarin, setelah mengantar Fika pulang, Kiki memutuskan ke rumah sakit untuk melakukan rapid test karena ia merasa ada yang aneh dengan dirinya akhir-akhir ini. Dan sekarang, di atas kasur berukuran king size, tubuhnya terbaring terlentang dengan hanya memakai celana jeans yang belum ia ganti dari kemarin. Dunia terasa berputar sepersekian sekon lebih cepat, lebih terasa seperti dunia ini ingin membuangnya jauh-jauh. Langit-langit, dinding, lemari, kaca, udara, atmosfer, napas, semuanya terlihat jelas fana di mata Kiki sekarang.

Kiki menatap wajahnya di depan cermin kamar mandi setelah ia membasuhnya berkali-kali dengan kasar. Erangan yang terdengar tertahan keluar dari mulutnya, membenci sosok yang ada di cermin itu, membenci kelemahan yang begitu tersirat.

Hasil tes kemarin menunjukkan reaktif atau positif bahwa Kiki terinfeksi HIV yang sudah berlangsung hampir seminggu. Hal itu sangat memohok dada Kiki, lebih dari apapun di dunia ini. Tulang seluruh tubuh rasanya langsung ngilu, lebih menyakitkan dari pada jarum suntik yang tertusuk secara bergantian saat Kiki, Deva, dan Gabriel kehilangan kendali dua bulan yang lalu. Kiki berani bersumpah, hal tersebut terjadi tanpa sadar, jarum itu menusuk lapisan kulitnya bukan dengan tangan dia sendiri. Yang ia sadari hanyalah botol-botol Paul Masson berserakan di lantai kamar Gabriel.

Kiki mengambil asal kaos yang tergantung di lemari, memakainya, menyalakan laptop, dan dengan tergesa-gesa mencari sesuatu di layar internet.

"Why, God. Why?" ucapnya dengan nada putus asa ysng bergetar diikuti napas tersengal. Kenapa harus sekarang, kenapa harus saat dirinya ingin sekali menghabiskan waktu bersama Fika, atau kenapa ini tidak terjadi saat ia belum merasakan cinta, dan kenapa harus sakit macam ini? Sakit yang harus membuatnya melindungi Fika dengan cara menjauh.

Kiki merasakan air mengalir keluar dari hidungnya, menyeka asal dengan kaos panjang abu-abu yang ia pakai, tidak peduli kalau itu darah, matanya menatap nanar layar laptop, mencari jadwal keberangkatan pesawat yang paling cepat lepas landas. Takut, amarah, sakit, menyatu menjadi satu menekan dirinya.

Setelah selesai dengan urusan tiket pesawat tersebut, Kiki menutup wajah dengan kedua tangan bertumpu pada meja. Hatinya berkali-kali memohon maaf pada Fika. Ia hanya, merasa sangat jauh dari kata cukup mulai detik ini juga.

Awan gelap masuk ke kamar Kiki, menyisakan rasa bingung yang menyiksa sebelum ponselnya berdering berkali-kali, memaparkan nama Fikaku. Ia menempelkan ponsel dengan case biru muda itu di telinga.

"Halo, Kiki."

Kiki memejamkan mata, mengontrol napas dengan baik-baik, sebelum ia mengeluarkan suara. "Kenapa, Fik? Tumben nelfon," suara itu terdengar begitu santai, tanpa beban sekalipun.

"I've just been waiting about Monday."

"N Seoul Tower?"

"Mm-hm,"

"Me too." Tapi suara itu hanya terdengar bisikkan, ia menutup bibirnya dengan satu tangan, menahan pilu yang bisa saja keluar saat itu juga.

"Ki?"

"....." Kiki belum bisa mengeluarkan suara, ia menjauhkan ponsel tersebut dari kepalanya. Sebenarnya Kiki ingin mengatakan "Fik, i'm not okay." Tapi, itu terdengar percuma bukan? Malah akan memperburuk keadaan kalau saja Kiki menularkan virus berbahaya itu pada harta tercantik yang ia miliki. Ia menempelkan ponselnya kembali.

"Ki, are you okay?" Tanya Fika hati-hati.

"I'm okay,"

"Serius? Jangan bo-"

"I love you, Fik."

"......"

"Saranghae."

"......"

"One, four, three."

"Ki,"

"Fik, gue gak bisa jemput nanti. Is it okay? Kita ketemu di Namsan Hill. Lo bisa kan naik bus?"

"It's okay,"

"Naik bus nomor dua dari subway line tiga. Bisa kan?"

"Iyaa, Kiki."

Maaf Fik,

Setelah sambungan terputus, yang ia lakukan selanjutnya adalah menghubungi Nando.

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now