#41 GOING OUT

134 8 0
                                    

Hal yang pertama kali Fika lakukan setelah makan siang adalah duduk di bibir kasur, tanpa melakukan apa-apa. Ia duduk di situ sambil mengingat kapan terakhir kali Kiki menghubunginya. Sudah hampir dua hari. Berkali-kali Fika berusaha menghubunginya, tapi nomor laki-laki itu tidak aktif. Whatsapp, Line juga tidak terkirim. Bahkan Fika juga sudah melihat-lihat media sosial Kiki yang lain, siapa tahu ada informasi yang bisa disangkut-pautkan menjadi satu, tapi hasilnya nihil, tetap tidak ada. Perasaan khawatir berhasil menjelajari hati Fika. Gimana kalo dia kenapa-kenapa?

Ia ingin sekali meminta Nando untuk mengantarkannya ke tempat Kiki. Perempuan itu baru akan membaringkan tubuhnya di kasur saat ponsel yang ada di sebelahnya bergetar, menampilkan nama Fernando Abraham.

Fernando Abraham: Jam 4 gue jemput ya, sama Raka juga.

Kedua alis Fika mengerut, jari jempolnya menggeser layar untuk melihat hari apa sekarang. "Udah Minggu aja," gumamnya. Berarti besok ia akan bertemu Kiki di Namsan Hill. Tapi laki-laki itu belum menunjukkan kehadirannya juga.

Fika: Lo bawa mobil?

Fernando Abraham: Gue bawa gerobak. Entar lo yang narik.

Fika: Orang gue nanya yang bener.

Fernando Abraham: Ya lo bayangin aja masa gue bawa delman buat jemput lo sama Raka.

Fernando Abraham: Emang apaan lagi selain mobil?

Fika: Gue kan cuma mastiin. Huh.

Fernando Abraham: Ada lagi sih yang mau gue bawa.

Fika: Apaan?

Fernando Abraham: Bawa pergi cintamu, ajak kemana yang ku mau.

Fika: Ccd.

(Read 12:34pm)

Afika sempat berpikir untuk menanyakan apakah Nando dengan senang hati akan menuruti kemauannya untuk ke tempat Kiki. Namun hal itu ia urungkan karena ia lebih memilih untuk memintanya secara langsung nanti.

Baru saja perempuan itu memejamkan mata untuk tidur siang, pintu kamar yang tidak terkunci secara tiba-tiba dan mengagetkan terbuka. Fika membuka mata dan badannya sedikit diangkat untuk melihat siapa orang yang berdiri di sana. Setelah menemukan sosok Raka, ia kembali merebahkan tubuh di kasur.

"Fik,"

"Apaan? Gue ngantuk, nih."

"Tai gue masih ijo masa."

Fika mengangkat badannya sampai ia duduk, memandang Raka dengan mulut terbuka, "Lo kebo ya?"

--

"Buruan, udah dijemput orang juga, kasian si Nando nunggu kelamaan." ujar Raka sambil mengikat tali sepatu.

"Iya, iya." Fika meraih tas ransel kecil dan langsung memakainya. "Kamera gue udah lo masukkin kan?"

"Udah, bawel lu. Dari tadi nanya itu mulu udah gue jawab berkali-kali juga."

Fika menghampiri Sofyan yang sedang duduk santai sambil minum teh di ruang tengah, "Pah, mau ikut gak?"

"Aduh, Papah kan udah ada janji lagi, Fi."

"Oh iya, lupa." Fika menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Tuh, mikirin apaan sih? Apa-apa lupa,"

"Bawel banget Raka."

Raka berdiri di ambang pintu, "Lagian,"

"Kalian bisa gak satu hari aja gitu, akur. Udah pada gede." Sofyan menyibakkan koran dari hadapannya, memerhatikan anaknya satu per satu.

--

Fika duduk di belakang, sedangkan Raka duduk di kursi penumpang bagian depan. Saat di perjalanan, Fika lebih banyak diam karena kedua laki-laki yang ada bersamanya lebih memilih asyik membicarakan soal klub sepak bola Jerman yang kalah oleh Prancis. Bahkan, yang membuat Fika tidak percaya adalah saat mereka juga membicarakan tentang mengapa manusia tidak bisa menghasilkan anak hanya dengan makan nasi.

"Eh, omongan lo pada ngaco banget sih." Ujar Fika setelah memalingkan pandangannya dari luar jendela.

Raka terkekeh, "Gak diajak mah diem aja udah,"

"Tapi tuh kalian freak tau gak?"

"Sudah, sudah. Jangan berteman." Nando melirik Fika dari kaca spion.

Suasana malam hari di Hongdae cukup ramai, bercahaya lampu, intinya menyenangkan berada di sana. Yang pertama kali dilakukan Raka saat berdiri di sana adalah berjalan ke Tabel Seni, menikmati sekaligus memotret beberapa sudut dan objek dari luar maupun dalam. Tapi yang paling aneh saat ia melakukan itu dan melihat bunga adalah, bayangan Tasya Cantika muncul di benaknya. Tasya kan suka bunga -lah kenapa jadi Tasya. Ia menggeleng pelan saat mengingat pesan obrolan terakhirnya dengan perempuan itu. Kemudian ia memindai ke sekeliling sampai sepasang matanya mendapatkan Fika dan Nando yang sedang saling memotret satu sama lain di tengah keramaian. Satu hal yang diyakini Raka saat detik itu juga, Nando melihat Fika dengan cara yang berbeda. Dan ada pertanyaan muncul di benaknya, mana Kiki?

"Candid dong." ujar Nando saat mengarahkan kameranya untuk mengambil foto Fika.

"Gini?" Fika tertawa.

"Ya udah iya gitu," satu gambar pun terambil. Namun Nando belum merasa puas. Ia pun diam-diam mengambil beberapa foto perempuan itu lagi. Dari saat Fika sedang menggigit es krim batang, melongo, dan tertawa saat ia tahu kalau Nando mengambil foto dirinya.

"Dasar paparazzi." kata Fika saat mengetahui hal tersebut, tangan kanannya memegang stick es krim.

Nando hanya nyengir dan malah mengambil fotonya lagi.

"Lo pasti ngumpulin aib gue semua kan tuh?"

"Apaan sih orang foto yang gue ambil bagus semua."

"Coba, liat." kata Fika dengan kamera yang menggantung di lehernya.

Lelaki itupun mengarahkan kameranya pada Fika dengan kedua tangan. Sehingga jarak yang mereka miliki menjadi begitu dekat saat kedua kepala itu menunduk untuk melihat benda yang ingin mereka lihat.

"Bagus kan? Jangan batu makannya."

Fika menoleh ke arah Nando, kemudian beralih lagi ke kamera tersebut. "Apaan, tuh gue lagi bengong lo foto. Hapus." tangan Fika meraih kamera itu untuk menghapus satu foto yang ia lihat. Namun lagi-lagi Nando lebih cepat dan langsung berdiri beberapa langkah lebih jauh.

"Gak boleh. Ini tuh cantik." Mantap, barusan gue ngomong apa? Nando mengerjap dalam hitungan detik setelah melontarkan kalimat itu. Fika juga baru akan tersipu malu sebelum Nando melanjutkan kalimatnya.

"Pemandangannya. Pemandangannya cantik." ujar Nando yang sedikit kesal pada diri sendiri, kemudian ia membalikkan badannya dan memutuskan untuk mengambil foto pada objek lain.

Media: A Rocket To The Moon - Going Out

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now