#47 TWO IN ONE

96 7 0
                                    

Malam yang cukup ramai itu lebih terasa menambah risau pikiran Nando yang telah dipenuhi oleh semua tentang Fika. Sejak percakapannya dengan perempuan itu kemarin, keduanya belum sempat mengirim pesan satu sama lain. Nando sempat bertanya pada diri sendiri dan memastikan apakah yang sudah ia lakukan adalah suatu kesalahan. Jika iya, lalu bagaimana yang benar? Membohongi perempuan yang dua tahun lebih muda darinya sampai perempuan itu mengutuk diri sendiri karena merasa telah menjadi orang terbodoh sedunia? Nando tidak pernah berpikir untuk bisa lebih jahat dari itu.

Seiring langkah kakinya yang sengaja diperlambat, laki-laki dengan kemeja denim itu meregangkan kedua tangan dengan kepala bagian belakang sebagai tumpuan. Jika dilihat dari setiap mata orang yang berlalu lalang, Nando hanya nampak seperti seorang pemuda yang mencari angin di tengah malam. Namun sangat akan berbeda jika melihat dari cara laki-laki itu mendongak untuk sekedar menatap langit entah untuk apa, atau setiap kali ia memijat dahinya yang terasa pening dipenuhi persoalan yang padahal bukan miliknya.

"It's not even my fuckin business, i swear." Gumamnya pelan pada diri sendiri setelah menemukan kursi panjang di pinggir jalan dan duduk di sana. Kedua tangannya mengusap wajah berkali-kali. Ini yang dinamakan frustasi sungguhan.

Setelah beberapa menit ia menghabiskan waktu untuk mengambil keputusan, tangan kanannya merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel berwarna silver miliknya. Dan setelah berhasil menyalakan benda tersebut, nama yang baru saja akan ia hubungi muncul di layar.

15 missed call from Afika Syifa

Afika Syifa: Jemput. Urgent.

Nando bersyukur pesan tersebut baru masuk tujuh menit yang lalu. Ia baru akan menanyakan pada perempuan itu 'jemput kemana?' tapi ia mengurungkan niat tersebut dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku sebelum ia berdiri dan dengan langkah yang cepat pergi ke tempat mobilnya terpakir.

--

"Jadi, gue belom bisa nerima fakta kalo Kiki pergi gitu aja." Pandangan Fika lurus, seperti tidak membiarkan siapapun mengelak dari pernyataan yang barusan ia 'deklarasikan'.

Nando menunduk, memerhatikan kopi yang masih mengepul dengan posisi tubuh bersandar di kursi. "Dan lo mau menjadikan gue sebagai intel setelah nyuruh gue jemput lo ke sini?" sekarang tatapan matanya beralih ke Fika.

Perempuan itu menggeleng. Anehnya, tersenyum lebar.

"Terus misi lo apa, anak kecil?"

Berbeda dari mimik wajah Fika kemarin malam saat aura kesedihan ada pada dirinya, malam ini ia terlihat jauh lebih siap untuk menerima fakta apapun yang harus ia dengar. "Gue cuma pengen denger alasan yang masuk akal."

Sekonyong-konyongnya, Nando terbelalak dengan kedua mata terbuka lebar. Mungkin sekarang ia lebih terlihat seperti memelototi Fika. Tidak percaya bahwa perempuan yang ada di hadapannya sekarang ini ternyata tidak kalah keras dengan batu. "Ya –lo gila atau gimana si? Itu yang udah gue kasih tau semua emang bener begitu adanya, Afika Syifa. Emang apa perlunya gue kurang-kurangin –atau –dari segi mana lo bisa bilang semua itu gak masuk akal?"

Air wajah Fika sulit dibaca, namun lagi-lagi perempuan itu tersenyum. "Jadi itu semua udah bener adanya?"

"Ya iya," Nando masih memasang muka kesal.

"Gak ada yang dikurang-kurangin?"

"Enggak. Astaga lo kok—"

"Bentar." Fika membenarkan posisinya, melipatkan kedua tangan di atas meja agar bisa melihat wajah Nando lebih serius. "Tapi aneh, Do. Semuanya kayak gak real di mata gue. Kalo semua itu bener adanya, lo bisa jelasin kenapa sekarang gue gak nangis?"

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now