#22

137 11 0
                                    

Raka menghentikan mobil untuk kedua kalinya setelah melihat kesedihan yang sama ia rasakan pada diri Fika.

Raka menoleh. "Fik, gak usah nangis, apa."

Fika mengusap air mata di pipinya berkali-kali tapi tak kunjung kering karena air matanya terus mengalir.

"Gue juga gak mau." Kata perempuan itu sambil terus mengusap air matanya dengan suara isak yang dia usahakan tidak terdengar. Ia membuang wajahnya dan menatap ke luar jendela.

"Afika,"

Fika tetap bergeming. Karena jika ia mengeluarkan suara, pasti tangisnya akan memecah.

"Afika, liat gue." Perkataan Raka terdengar sama seperti saat mereka makan bersama, saat Raka meminta Fika agar perempuan itu melihat dirinya seperti dirinya melihat Fika. Kemudian Fika menoleh, menatap lurus manik mata Raka, seperti tiap kali Raka menatapnya di kelas tanpa alasan. Tapi hal itu membuat air matanya jatuh lebih banyak lagi, Fika benar-benar tidak kuasa menahannya. Ini pasti yang disebut patah hati. Afika merasa seperti perempuan paling buruk dengan mencintai dua orang laki-laki.

"Fika, jangan nangis."

Namun perempuan itu malah makin menangis.

"Sumpah, gue gak bisa." Raka menghembuskan napasnya pelan dan merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya. Ia tidak bisa melihat perempuan yang dicintai menangis. "Udah, diem diem."

"Kenapa harus lo, Ka?"

"Please, gak usah nanyain hal-hal yang gak bisa dijawab."

Fika mendongak menatap kakak tirinya dan berasumsi. "Karena lo gak ngerasain kan?"

Raka tertawa getir, tangan kanannya memukul dadanya sendiri pelan. "Sakit?" Tanyanya pelan pada Fika. Dan sekarang kedua matanya mulai kemerahan dan terasa perih. "Mine's deeper."

"Jangan sedih di depan Papah." Lanjutnya lagi, mengingatkan adik tirinya itu.

--

Keduanya masuk ruangan apartment setelah pintu terbuka.

"Di sini kamarnya ada empat. Kamar Papah yang di ujung." Raka menunjuk kamar berukuran besar di ujung depan. Kemudian ia menunjuk kamar di sampingnya. "Kamar gue yang ini. Dua kamar lagi di sebelah sana. Tuh, keliatan kan?"

Fika menarik kopernya menuju salah satu kamar tersebut.

"Mandi dulu gih, sana. Apa mau makan dulu?" Tawar Raka.

"Makan dulu deh, gue laper banget." Perempuan itu membuka kenop pintu kamar dan langsung merebahkan dirinya di kasur.

Raka pun melepas kemeja jeans yang ia pakai dan melapisi kaos putih itu dengan sweater abu-abu kesayangannya. Ia melempar beannienya asal ke dalam lemari. Sebelum membuat makan siang untuk Fika, ia melangkahkan kakinya ke depan pintu kamar perempuan itu.

"Udah solat belom lo?"

"Belom." Jawab Fika yang sekarang sudah duduk di pinggir kasur.

"Solat sono."

"Males ah."

"Dih, gila lo ya. Solat!"

"Rewel dah. Emang lo udah?"

"Ini gue mau."

"Ya udah duluan aja sana."

"Jangan bilang lo gak bawa mukena?" Tanya Raka dengan tangan menyentuh daun pintu.

"Bawalah!"

"Alhamdulillah masih inget solat berarti." Lelaki yang resmi menjadi kakak tiri bagi Fika itu pun melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk sholat dzuhur. "Kalo gak solat, gak gue kasih makan!" Teriaknya.

Dengan malas, Fika pun mengganti pakaiannya dengan baju rajut lengan panjang berwarna coklat muda yang lebih hangat dan celana trainning. Ia menggunakan sandal apartment yang tersedia dengan kaos kaki yang masih terbalut di kakinya.

"Papah pulang jam berapa?" Tanya Fika saat ia sedang mengambil air hangat dari dispenser.

"Bentar lagi paling. Mandi dulu sono mending."

"Bawel ah."

Diam-diam Fika memerhatikan saat Raka menggelar sajadah dan memulai takbiratulihram. Siapa sangka lelaki alim yang selama ini ia kagumi itu memiliki hubungan darah dengannya? Ah, Raka. Fika sampai merinding geli karena terlalu memikirkannya. Fika menggeleng cepat setelah sadar bahwa seharusnya Kiki yang ia pikirkan sekarang. Dirinya belum mengabari Kiki sama sekali.

Kiki, apa kabar?

Mulmed: Heora - Under The Moonlight

Berlabuh PadamuWhere stories live. Discover now