Sudahlah

540 123 26
                                    

Taka duduk dengan tegap di hadapan Nenek, ada sebuah meja berukuran sedang di antara mereka yang di atasnya tersimpan dua cangkir kecil dan sebuah teko tradisional Jepang yang sudah terisi teh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Taka duduk dengan tegap di hadapan Nenek, ada sebuah meja berukuran sedang di antara mereka yang di atasnya tersimpan dua cangkir kecil dan sebuah teko tradisional Jepang yang sudah terisi teh.

Suasana siang hari itu sangat sepi dan canggung. Sudah lima belas menit berlalu. Tapi belum ada di antara mereka berdua yang bicara atau bahkan sekedar meminum teh. Nenek terlihat menatap lurus ke depan tanpa melihat Taka sama sekali, sama halnya dengan Taka.

Hingga akhirnya Nenek menundukkan kepalanya sejenak sambil menghela napas pelan. Kedua matanya menatap wajah Taka dengan berani.

"Apa kabar?" tanya Nenek mulai bicara.

"Sangat baik," jawab Taka cepat dan singkat.

Ekspresi wajahnya masih kaku, tidak berubah sama sekali. Otot-otot wajahnya terlihat keras seperti besi, tidak ada ekspresi apa pun. Senyum, apalagi tawa. Taka sudah seperti sebuah robot yang menyerupai manusia.

Padahal di dalam sana, di hatinya tak seperti itu. Rasanya hatinya hancur perlahan. Seperti ada yang menghancurkannya menjadi beberapa bagian dalam kepingan kecil. Hatinya benar-benar sakit, satu sisi ia membenci neneknya. Tapi, satu sisi ia tahu bahwa membenci seseorang itu bukanlah perbuatan yang baik.

Setelah bertahun-tahun tak bertemu, sekarang, detik ini, menit ini. Ia duduk berhadapan dengan nenek.
Taka memberanikan diri melihat ke arah nenek sebentar, kedua matanya langsung terasa panas.

Ia lihat wajah nenek terlihat pucat, tirus dan lelah. Kelopak matanya bahkan sedikit hitam. Nenek semakin tua, tubuhnya terlihat lebih kurus. Sekarang semua helai rambutnya berwarna putih. Tatapan matanya sendu dan lesu. Taka tak sanggup melihatnya lebih lama, hatinya terasa tercabik-cabik.

Apa selama ini nenek makan dengan sehat dan teratur? Apa selama ini nenek kurang tidur? Apa selama ini nenek sakit-sakitan? Semua pertanyaan itu tiba-tiba memenuhi isi kepala Taka.

"Bagaimana dengan urusan bisnismu?"

"Berjalan lancar," jawab Taka tersadar.

Semua pikirannya beberapa detik yang lalu tiba-tiba menghilang begitu saja. Napasnya terdengar terengah-engah seperti habis berlari jauh. Detak jantungnya berdegup sangat kencang dan berantakan.

"Syukurlah," Nenek tersenyum.

Lalu tangannya meraih secangkir teh yang mulai dingin. Ia meminumnya perlahan, sebelum meminumnya Nenek mencium aroma khas teh terlebih dahulu. Raut wajahnya terlihat damai dan tenang.

"Kamu tidak menanyakan kabar saya?" tanya Nenek membuat Taka mendongakkan kepalanya kaget.

Ia lalu menundukkan kepalanya lagi tanpa menjawab pertanyaan itu. Hatinya seperti tertohok begitu dalam. Seharusnya, ya, seharusnya ia menanyakan kabar nenek juga. Bukankah itu hal yang normal antara nenek dan cucunya? Tapi, kenapa? Kenapa begitu sulit untuk terucap?

Hanami | TELAH TERBITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang