Alhamdulillah...

Tapi, kalau diam terus seperti ini rasanya Nada jadi rindu rumahnya di Indonesia. Pokoknya semuanya ia rindu. Padahal 3 bulan saja belum, Nada rindu masakan Ibu.

Apalagi sambal buatan Ibu. Selama 3 bulan lamanya Nada akan tinggal di rumah ini bersama obasan. Rasanya memang menyenangkan, tapi tetap saja seperti ada yang kurang.

Rumah ini terlalu besar untuk ditinggali dua orang. Banyak sekali ruangan disini, bahkan belum semua Nada lihat. Nada melihat lurus ke depan.

Lihat! Bahkan di seberang sana pun ada sebuah rumah obasan. Seperti ruangan terpisah, hanya saja tidak sebesar ruangan yang Nada tempati. Nada belum pernah kesana. Nada sebenarnya ingin melihat, tapi entah mengapa seperti ada yang mengganjal di hatinya.

Rumah diseberang sana terlihat sangat tertutup dan lumayan gelap. Menyeramkan? Tidak juga sih.

Hanya saja auranya yang suram. Sepertinya Obasan juga jarang berkunjung ke rumah itu. Terlihat jelas, rumah itu tidak sebersih rumah Nada dan Obasan tinggali. Dibilang kotor tidak, dibilang bersih juga tidak. Tidak tahu deh, Nada melihat ke arah jam tangannya, sudah waktunya Shalat Ashar.

"Nada."

Nada menoleh ke belakang, "Iya, obasan?"

"Kamu mau beribadah?" tiba-tiba Obasan sudah berdiri di belakangnya.

Nada sempat terdiam, lalu.

"I-iya. Ada apa obasan?"

"Jangan di kamar, di rumah ini ada ruangan untuk kamu beribadah."

Nada terdiam lagi, Obasan tersenyum melihat ekspresi Nada yang kebingungan. Obasan menarik lengan Nada lembut, dan membawanya ke suatu ruangan.

Sesampainya di depan ruangan itu Obasan menggeser pintu, Nada terkejut bukan main. Ini semacam Mushalla sederhana di dalam ruangan. Rapih dan bersih, ia tidak menyangka di rumah ini ada Mushalla.

"Ini sudah ada sejak lama, di ruangan sebelah pun masih ada ruangan beribadah untuk umat agama lainnya. Silahkan."

Setelah berkata seperti itu Obasan keluar dari ruangan dan menggeser pintu, menutupnya.

Nada hanya berdiri terpaku melihat ke semua sudut ruangan. Di sebelah kanan, ada sebuah rak berukuran sedang berisi kitab Al-Quran. Rak nya memiliki 3 undak, undak pertama berisi beberapa barisan kitab Al-Quran. Undak ke dua terdapat Mukena dan Sajadah. Dan undak ketika, ada beberapa buku atau majalah tentang Islam.

Ia melihat ke depan, ada dua hiasan yang terbuat dari ukiran kayu. Bertuliskan Allah dan Muhammad.

Nada melihat ke bawah kakinya. Karpet yang sangat lembut dan cukup besar. Kalau tidur di sini, sepertinya sudah nyaman. Tapi ini, kan, Mushalla. Ingat baik-baik Nada.

Ia tersenyum lebar, melihat ke sekeliling ruangan berukuran sedang ini penuh dengan ukiran ayat Al-Quran. Indah sekali, walau sederhana. Tapi tetap berkesan. Sudah tiga tahun Nada berada di Tokyo waktu itu, dan selama tiga tahun itu pula ia sulit menemukan yang namanya Masjid apalagi Mushalla umum.

Sepertinya Nada akan betah di sini. Semuanya sangat mudah dijangkau. Tidak sulit. Akses dan fasilitas di sini cukup membuatnya malas untuk membuat laporan. Walau tidak ada barang mewah, tapi ini sudah sangat membuat Nada tersenyum tidak henti-hentinya. Banyak sekali yang bisa ia dapatkan hari ini, padahal ini baru hari keempatnya tinggal. Tapi ia merasa sangat tertarik.

🇮🇩🌺🇯🇵

"Umur kamu berapa?"

Tanya Obasan sambil menatap Nada dengan wajahnya yang sudah keriput namun tetap terlihat cantik.

Kini mereka berdua sedang berbincang-bincang di dapur, ditemani dengan secangkir teh hangat. Pas sekali, karena di luar suhunya sangat dingin.

"Umur saya 27 tahun," jawab Nada lalu meminum teh hangat sedikit demi sedikit.

"Oh, ya? Cucu saya pun seumuran dengan kamu."

"Sungguh? Lalu sekarang dia ada dimana?"

"Iya. Kamu tidak bisa bertemu dengannya, bahkan saya sendiri tidak tahu dimana dia sekarang."

"Kenapa begitu? Padahal akan lebih menyenangkan jika tinggal berdua."

"Tentu saja, dia cucu saya satu-satunya. Karena saya hanya memiliki satu anak perempuan. Tapi dia sudah meninggal sekarang."

Nada terdiam, ia merasa bersalah karena sudah banyak bertanya ini itu pada Obasan. Pasti ini sulit bagi Obasan, membuka luka masa lalunya. Tapi mau bagaimana lagi, mulut Nada ini selalu saja gatal.

Susah diajak untuk berkompromi, bisa diam sejenak untuk tidak tahu urusan orang lain itu jarang sekali. Selalu saja ingin tahu, ia merutuki dirinya sendiri.

"Tidak usah merasa bersalah, saya baik-baik saja. Lagipula itu masa lalu."

"M-maaf Obasan."

Nada menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Sudah, sudah. Tidak apa-apa," hibur Obasan sambil tertawa renyah.

"Teh nya enak," ujar Nada sambil tersenyum manis.

"Kalau kamu mau lagi tambah saja, tidak usah malu. Kamu benar-benar mengingatkan saya pada cucu saya. Selalu ingin tahu, ramah dan humoris. Walau terkesan banyak bicara."

"Sungguh? Apakah ia juga punya kebiasaan mengorok seperti saya?"

Tawa pun pecah.

"Cucu Obasan perempuan atau lelaki?"

"Lelaki."

"Eh? Lalu kenapa kita mirip? Saya, kan, perempuan Obasan," Nada mendengus. Bibir mungilnya mengerucut. Obasan tertawa renyah, Nada jadi ingat seseorang di sana.

Ya, Taka. Sejauh ini hanya dia yang mirip dengan Nada. Sejenis. Mungkin masih banyak orang di luar sana yang mirip satu sama lain. Tapi Nada hanya memperhatikan lelaki Jepang setengah Indonesia yang aneh itu.

"Memangnya tidak boleh?"

"Boleh saja, hehe. Oiya Obasan, saya punya teman dari Jepang. Dia dari Osaka. Tapi sekarang dia ada di Indonesia. Dia aneh, saya baru pertama kali menemukan orang Jepang macam dia. Selama saya di Tokyo dulu, tidak ada yang seperti itu."

"Kamu beruntung mendapatkan teman yang langka."

"Hahaha, Obasan ternyata lucu juga. Dia itu manusia, bukan barang langka."

"Kapan-kapan kamu boleh membawanya kemari."

"Sungguh?"

"Iya."

Nada tersenyum sambil memeluk pundak Obasan lembut. Kalau seperti ini Nada tidak merasakan perbedaan. Semuanya terasa sama saja, tidak ada yang berbeda. Walau mereka berasal dari dua Negara yang berbeda, budaya dan agama yang berbeda juga.

Tapi ini semua terasa sama. Perkataan Taka soal itu memang benar, kita hanya perlu merasakannya. Dengan begitu kita akan tahu dengan sendirinya.


Bersambung.

Hanami | TELAH TERBITOnde histórias criam vida. Descubra agora