60

355 61 11
                                    

Latar belakang anak gadara itu panjang kisahnya, nggak mungkin aku bikin cerita nya satu-satu karena secara garis besar sudah aku ceritakan walau sepotong-potong.

Mungkin jika ada waktu, nanti akan aku rangkum perbab tentang masa lalu anak Gadara satu persatu, stay tuned aja yaa

**

TING

Suara langkah kaki yang bergema menyentuh permukaan lantai menyusul suara dentingan mesin pembuat roti bakar yang menyebarkan harum coklat sedikit hangus.

"Aduh–" desis Namu mengambil roti yang baru matang dengan tangan kosong, sedikit bodoh tapi yang nama nya orang lapar terkadang isi pikirannya suka kosong.

Tidak lupa menuangkan segelas susu putih sebagai pendamping, kemudian membawa sarapan tersebut ke ruang TV. Menekan tombol remote dan beralih menyicip buatannya.

"Not bad." gumamnya, tidak peduli ada bagian hitam yang menggosong. Pikirnya selama bisa di lapisi oleh selai maka makanannya bisa di cerna.

"Kok bau hangus?"

Namu menoleh ke belakang, menemukan Yudha yang baru bangun tidur masih dengan wajah bantalnya. "Tadi gue panggang roti, ternyata kelamaan jadinya hangus."

"Yang bener aja, Bang Biru tau lo bisa di siram pake air kolam ikan nanti."

"Ya jangan di aduin lah bang, mending bikin sarapan aja buat gue dan yang lainnya. Lama-lama roti nya berasa pahit." Dia menyengir tanpa dosa, wajah pongah Namu menurut Yudha benar-benar menyebalkan, seperti anak kecil polos yang berpura-pura akan polos.

"Bang Biru belum belanja?"

"Kosong ya?" Tanya Namu ketika Yudha membuka pintu kulkas, namun yang di temukan hanya tiga butir telur, sekaleng kornet, dan daun bawang.

"Iya, tumben banget."

Yudha mengeluarkan semua bahan makanan yang tersisa dari kulkas. Mengolah nya menjadi satu makanan yang orang sebut nasi goreng.

"Paspor udah diurus?" pertanyaan mendadak dari Yudha membuatnya diam sejenak.

"Udah, tinggal nunggu jadi." Namu meneguk minumnya. "Oh ya–"

"Lo serius bang?"

"Tentang?"

"Mau publish ke media kalau lo anak angkat Mahesa Grup?" Kegiatan memotong daun bawang kini berhenti, yang nama nya Putra memang tidak bisa menjaga rahasia.

"Lebih tepatnya dia Papa Tiri gue Nam, Mama jadi istri kedua setelah istri nya Papa yang pertama meninggal. Beliau frustasi orang-orang disekitarnya nggak ada yang mau berjalan sesuai keinginan dia."

"Kakak tiri gue? dia terlalu lama sendirian dari kecil sampai dia menciptakan dunia impiannya sendiri. Hasilnya? orang bilang dia gila, Papa nggak bisa berbuat apa-apa dan melampiaskannya ke gue."

"Gue yang saat itu udah terbiasa mandiri, memilih jalan yang berbeda dari Papa. Gue kerja jadi kurir, pernah ngamen juga. Kalau lo bilang itu hukuman, bukan. Itu posisi gue yang sebenarnya. Secara sadar, gue anak kecil yang sebelumnya nggak punya apa-apa, eh punya Papa baru yang ternyata luar biasa kaya."

"Saat itu gue pemberontak kecil dan gue jadi kayak gini, hidup penuh benci untuk beliau. Mungkin kalau nggak berontak, gue udah dari lama pegang perusahaan."

Namu menyimak dengan jelas walaupun suara minyak berdesis menemani obrolan kedua nya. "Terus kenapa lo sekarang mau ngelepas jabatan itu?"

"Bukan melepas, tapi memberikan pada orang yang tepat."

CHAPTER 2Donde viven las historias. Descúbrelo ahora