28

481 97 32
                                    

Aku update sekarang ya karna nggak tahu weekday bisa update atau nggak♡ enjoy!

Selamat membaca♡

⚠️ litte bit angst maybe?

**

Rumah yang biasanya ramai kini senyap, hanya terdengar suara talk show dari televisi yang memantulkan cahaya pada sosok yang terdiam memandang tayangan di depannya, Tidak ada tanda suara darinya, sekalipun tayangan di depan sana terdengar menghibur.

Jero sedang memutar kejadian beberapa jam lalu, tentang situasi mereka yang chaos. Ini mungkin bukan pertengkaran pertama bagi mereka, tapi mungkin masalah ini akan jadi yang paling chaos diantara pertengkaran yang sudah terjadi. Masalahnya merambat luas, banyak orang dilibatkan karena satu orang perempuan, bukan– dia bukan menyalahkan perempuan itu tapi entah kenapa semenjak Gadara mengenalnya satu masalah pun tidak selesai-selesai, ada saja masalah lain. Jero tidak suka seperti ini, dia tidak suka jika Gadara berpisah-pinsah. Dia jadi benci dengan situasi ini, dia benci bagaimana intensi satu perempuan berhasil memecah ketujuhnya.

Dan– dia benci akan sikap Attala yang berubah, terlalu emosional menurutnya.

BRAK

Suara debuman pintu membangunkannya dari lamunan. Attala keluar dari kamar dengan pakaian yang sama. Lantas dia bangkit menghampiri Attala yang tergesa mencari kunci mobil.

"Abang mau kemana? Kok nggak tidur? Kan tadi disuruh tidur?" Pertanyaan beruntun yang diucapkan Jero membuat kepalanya pening seketika.

Attala menggeleng, memberantaki meja sebab tak menemukan kunci mobil, membuat kepalanya semakin pening. Mencari benda mati saja tidak berhasil, bagaimana mencari Dira yang mahluk hidup? "Gue pusing kalo tidur, mau cari Dira."

"Kak Dira lagi dicari sama yang lain, Bang. Lo istirahat kalo pusing, ayo tidur. Kak Dira pasti ketemu sama mereka." Bujuk Jero, melihat betapa menyedihkannya seorang Keandrian Attalaf.

Attala kembali menggeleng sedangkan tangannya masih sibuk mencari kunci mobil. "Mereka nggak akan ketemu Dira, cuma gue yang bisa temuin Dira, gue yang kenal dia, gue yang paham dia."

Dira. Dira. Dira. Memuakkan.

"Iya cuma lo yang paham dia, makannya ayo? Istirahat dulu, please?" Tangan Jero mencoba menggapai lengan Attala, berencana menarik Attala untuk kembali masuk ke kamar,  namun usahanya sia-sia karena Attala justru menepis tangannya.

"STOP SURUH GUE ISTIRAHAT! Persetan sama istirahat, gue mau cari Dira." Officialy Attala shouted at him for the first time—

—and he also pushed Jero against the wall.

"Lo mending diam aja, Jer. Lo cuma saudara tiri gue doang, nggak usah ngatur-ngatur. Gue tahan ya selama ini sama lo, tapi lo atur gue untuk istirahat nggak cari sahabat gue yang gue nggak tahu keadaannya gimana. Lo itu nggak berhak, Jer." Telunjuk Attala menusuk dadanya, terpojok seperti ini membuat Jero hanya bisa menahan napasnya.

Attala mundur, berbalik arah. "Gue mau cari Dira– nggak usah larang gue."

"Dia kasih lo apa sih, Bang? Lo tuh kayak khawatir banget, lo kayak kehilangan kasih sayang tau? Dira nggak mungkin kasih badannya kan sama–"

BUGH

"JAGA MULUT LO ANJING!" —he hit Jero.

"Ada ap– ASTAGA JERO!" Hosea berlari menghampiri Jero yang tersungkur akibat pukulan Attala yang tak disangka. Mata bambi Jero memanas, rasa sakit pipinya tidak sebanding dengan rasa sakit hatinya.

Namu dibuat mematung melihat keadaan dua kakak beradik di depan dia, Attala sepertinya hilang akal– dia yang selama ini menjaga Jero dari rasa sakit justru dia pula yang menaruh rasa sakit pada orang yang dia jaga. Yudha terdiam, melihat lamat Attala penuh emosi yang sepertinya sudah ditahan terlalu lama, lalu berakhir meledak pada orang yang salah.

"Lihat kan? Dia emang kasih apa sama lo? sampe gue yang selama ini lo posesifin malah lo hajar kayak gini?" Suaranya bergetar.

"Lo nggak tahu rasanya kehilangan sosok bunda, kehilangan kasih sayang. Dira kasih itu semua, dia sayangin gue sampai gue merasa ada sosok bunda dalam dirinya. Dira kasih sesuatu yang nggak bisa lo kasih ke gue, Jer." Attala sepenuhnya sadar, dia merasa bersalah tapi dia juga muak, paham bukan?

Satu kedipan meloloskan air mata yang membasahi pipinya. "Lo– lo tau lo jahat, Bang? Omongan lo jahat banget– gue sakit hati, Abang.."

Sakit melihat Jero, tapi dia ingin egois. Dia ingin melakukan apa yang dia inginkan, bukan mendengarkan orang lain yang tidak tahu perasaannya. Dia memang jahat– dia benci dirinya sendiri, dia–

"Keluar lo anjing."

Lengannya ditarik paksa oleh Yudha. Dia menyeretnya keluar dari rumah, Namu mengacak surainya frustasi, dia pun mengikuti keduanya sampai teras rumah. Waktu sudah menginjak malam, hawa angin juga sedang dingin-dinginnya. Yudha tidak mungkin bermaksud mengusir Attala bukan?

"Pergi lo. Cari Dira sana." Hawa angin yang sudah dingin menjadi semakin dingin setelah Yudha berbicara.

Attala berdecak kecil. "Lo santai gini pasti nggak nemu Dira kan? Udah gue duga–"

"Kata siapa? Gue nemu tuh"

Mata Attala membola, dia berjalan mendekat pada Yudha namun responnya diluar nalar, Yudha telak memukul rahangnya kuat sampai membuat nya jatuh tersungkur.

"BANG!" Namu berseru, sungguh ada apa dengan hari ini.

"Gue bilang pergi lo anjing." Namu bisa mendengar deru napas Yudha yang memberat.

"Alamatnya, please.." Pinta Attala kembali mendekat, namun yang terjadi rahangnya kembali dipukul.

"Berkali-kali gue bilang, pergi lo anjing."

"Tapi, Bang alamatnya.."

"Ada gue bilang mau kasih ke lo?"

Hening.

"Tadinya iya, sekarang nggak. Lo mukul adek lo, buat apa gue bantuin lo?" Dia mengeluarkan kertas di salah satu saku celananya, menunjukkan kertasnya yang bergoyang tertiup angin, seakan mengejek Attala lalu mengeluarkan pematik api yang kemudian digunakan untuk membakar kertas itu dihadapan Attala yang meneteskan air mata.

"So now, i have nothing. Cari lagi sana, sampai ketemu, katanya tadi mau cari  sampai harus bentak mukul Jero juga kan?"

Namu sepertinya akan gila, bagaimana bisa Yudha berbicara seperti itu tanpa nada emosi? Bahkan tubuh besarnya dibuat meremang ketika Yudha memanggil namanya. "Nam, masuk."

Namu memandang sedih ke arah Attala. Dia masuk lalu keluar kembali membawa jaket tebal kemudian menyampirkannya pada bahu Attala yang menatap kosong kearah rumput. "Pake ya, Ta. Gue marah sama lo, tapi gue nggak mau lihat lo makin sakit. Jalan-jalan dulu ya? Ntar balik lagi kalo keadaannya udah mendingan?"

"G– gue salah ya, Bang? Gue ngacauin semuanya.."

Namu memeluk Attala, merasakan tubuh yang lebih muda bergetar. Bukan seperti ini makna Gadara yang dia inginkan, bukan apapun masalahnya mereka akan ke puncak bersama– jika seperti ini terus Gadara benar-benar bisa tamat sebelum mencapai puncak.

**

Aku takut sama character Yudha, padahal aku yang bikin...

Gimana ya.. ah nggak tau deh.

CHAPTER 2Where stories live. Discover now