32

585 94 28
                                    

⚠️ tw/ blood/ a litte angst/  banyak bahasa kasar *telat wkwk

Selamat membaca♡

**

BRAK

Jero tidak tahu sudah berapa kali tubuhnya terbentur rolling door, tenaganya mulai melemah namun harus tetap stabil ketika  melihat Hosea kerap kali kewalahan karena kondisi kakinya yang belum pulih.

"Bang, lo pergi! Biar gue yang urus disini." Punggung keduanya menempel, saling merasakan fabrik kain yang basah karena keringat.

"Gila lo Jer– nggak mungkin gue ninggalin lo sendiri ngelawan empat orang gini." Sahut Hosea lalu meringis ketika sang adik kecil dengan sengaja menyenggol pergelangan kakinya yang membiru, ditambah posisi berdiri dia yang kini tidak sempurna, dengan satu kaki yang menjinjit dan kaki lain yang menjadi tumpuan.

"Lihat kan? Gue nggak masalah dengan kekuatan lo disini gimana bang, tapi lo harus bertahan sampai abang yang lain dateng. Mending lo–"

"Nggak!" Hosea menolak tegas. "Gue nggak peduli kalo nanti gue pincang, nggak bisa nari lagi, gue nggak peduli Jer. Gue lebih baik bonyok ngelindungin adik sendiri daripada harus ngorbanin lo."

Jero terkejut dengan pernyataan Hosea. "Bang lo.." Hosea memunggunginya, bisa Jero rasakan jika bahu yang selama ini turun kembali tegak dengan debaran rasa semangat untuk menjadi sosok yang baru.

"Gue ikhlas Jer.. hari itu emang jadi keputusan terakhir kalinya untuk menari, sesuka apapun gue sama dunia itu, ada dunia lain yang menunggu gue untuk dijelajahi. Udah ya? Stop melihat sisi gue yang seakan gue membenci kondisi kaki yang seperti ini. Walau betul gue di awal benci banget sampai rasanya mau tuli aja biar kepala nggak berisik, tapi dibalik itu akhirnya gue bisa melihat siapa yang benar-benar peduli, sejauh ini ya kalian– Gadara."

"My safe place.."

Benar. Selama ini yang dia lihat hanyalah sisi Hosea yang membenci fakta jika dia tidak akan bisa kembali menari dengan baik, namun Jero tetap tidak bisa melupakan sorot kesakitan dan putus asa Hosea ketika terbaring di atas brankar ambulans saat itu, tautan tangan yang bergetar tapi berusaha untuk mempererat genggamannya. Jero melihat semua itu, dia saksi bicara dikala Hosea berserah akan dirinya sendiri.

"Satu lawan dua masih sanggup kan, Bang?" Tanyanya dengan nada bergetar.

Hosea tertawa keras menyadari jika Jero mengalihkan pembicaraan, adiknya yang satu itu memang dia akui agak sedikit cengeng.

"Bisa lah! Gue lincah walaupun kaki semaput gini. Kalo nggak bisa baru gue panggil lo, ya?"

Jero mengangguk. Menjulurkan tinju ke depan Hosea yang dibalas serupa. Lantas keduanya berpencar kembali pada sang lawan yang semula duduk dari rehat singkatnya.

"Itu yang pernah di ledek Dio kan? Sampe si Putra ngeskak rektor dan kesiswaan? Kaki aman? Gue liat-liat ditendang sedikit udah pasti bakal ambruk sih."

Rahang Jero mengetat, berbicang sebentar bersama Hosea seakan memberikannya daya kekuatan untuk menghajar habis manusia setengah setan di depannya. "Heh bangsat, berani lo sentuh dia gue bikin lo duduk di kursi roda seumur hidup."

Khatir tertawa, jelas tingkahnya semakin menyulut emosi Jero yang minim kesabaran. "Bukan gue tuh yang nyentuh?" Sebelah alis Jero menukik, tidak mengerti akan ucapan Khatir. "Lo-"

"WOI TENDANG KAKINYA!"

Jero membelalakkan mata, memutar badan mencari keberadaan Hosea yang justru memberikan celah bagi Khatir untuk menghabisinya.

"Lo tau kenapa gue benci abang lo?" Bisiknya dibelakang Jero yang mematung, karena Khatir dan temannya berhasil mengunci tubuh dia. "Sok pahlawan! Dia seharusnya diem aja waktu Dira dijahatin, seharusnya gue yang tolong Dira–"

CHAPTER 2Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt