36

631 113 16
                                    

Selamat membaca

**

"BANG PUT/PUTRA!"

"GUE MASIH HIDUP WOY!"

Biru dan Jero kompak menoleh, segera menghampiri Putra yang melambaikan tangan di udara. "T–tolongin.. berat anjir–"

Penjaga keamanan langsung memisahkan keduanya, pisau ternyata benar-benar tertancap tetapi bukan di tubuh Putra melainkan bantal sofa yang dia jadikan sebagai penyangga antara tubuhnya dengan sang penusuk. Putra sedang beruntung, reflek cepatnya membawa keselamatan.

"B–bang gue kira lo bakal mati.."

Putra mendengus. "Nggak lah gue–"

"Nanti siapa yang bisa gue ledekin kalo lo nggak ada.." lanjut Jero, menjatuhkan ekspetasi Putra. "Si anak anjing.." kutuknya sambil beranjak dari sofa disertai ringisan dari bibirnya ketika menyadari ada luka panjang pada telapak tangan kanannya.

Biru menatap horor pada bantal sofa yang menjadi hero untuk Putra, membayangkan jika tidak ada benda tersebut mungkin saat itu juga sofa yang berwarna putih gading langsung berubah menjadi merah pekat.

"LEPASIN GUE!" Dio meronta, mencoba melepaskan diri sambil menunjuk Putra maupun Jero. "GUE BUNUH LO BERDUA NANTI BANGSAT!"

Putra menggeleng dan menahan lengan Jero ketika dia ingin mendekati Dio. "Orang gila. Nggak usah diladenin." Biru menghampiri Putra, memegang lengan Putra yang bersimbah darah dengan luka yang terus mengalir keluar.

"Ini lo ceritanya gimana sih anjing, kok bisa berdarah banyak gini?" Biru menggerutu di depan wajah Putra yang meringis, sebab Biru dengan kurang ajarnya membolak-balik tangannya seakan tangan tersebut tak bertuan.

Putra menepis pelan tangan Biru ketika dirasa semakin ngilu. "Tangan gue lo bolak-balik makin sakit bang!" Biru langsung melepas genggamannya pada tangan Putra, menyunggingkan senyum gigi. "Rumah sakit ayo? Itu makin ngucur, muka lo pucet banget bang sumpah." Ujar Jero menunjuk wajahnya.

"Ayo deh, kepala belakang gue sakit banget tadi kena sofa di dorong si tai." Biru menggandeng lengan Putra yang tak luka, berjaga jika yang muda–

"ANJ–"

Biru hampir tersungkur ke depan ketika Putra limbung ke depan. "JER! BANTUIN LONTONG!"

**

Lift membawanya ke lantai dasar rumah sakit, pandangannya sesekali melihat papan petunjuk yang menuju area kantin guna mencari makan untuk siang nanti sembari menjaga Attala yang masih lelap tertidur setelah tiga hari berlalu. Yudha mengusap wajahnya lelah, menjaga orang sakit ternyata lebih lelah dari yang dia bayangkan. Banyak ketakutannya, sampai lelah sendiri memikirkan asumsi buruk tentang masa depan yang tidak diketahui seperti apa jadinya.

Berdiri sesuai antrian dan tiba nya untuk memesan, suaranya tertahan tak jadi bicara sebab getaran ponsel di kantung celana menghentikan niat awalnya dan memilih keluar dari antrian.

"Halo bang?"

"..."

"UGD? Gue kesana."

Yudha lekas beranjak dari area kantin tanpa membawa makan dan pergi dengan kecemasan luar biasa. Dalam batinnya kini terucap doa-doa baik untuk kondisi Putra, walaupun keduanya sering adu mulut dan berisik juga usil satu sama lain, Yudha justru sangat menyayangi pemuda yang terpaut lebih muda 2 tahun melebihi rasa sayang pada dirinya sendiri.

Dia berbelok memasuki lorong unit gawat darurat, melihat Jero yang berdiri tak ikut memasuki UGD. "Putra udah di tangani dokter?" Jero menelisik wajah Yudha yang tegang. "Napas dulu, bang." Dia tertawa melihat wajah Yudha yang sudah pucat jadi lebih memucat, apalagi dengan mata sipitnya yang berair. "Pingsan doang kok, nggak koma. Tangan nya perlu di jahit aja, sama paling kepalanya di rontgen. Kata dokter sih begitu."

Semua perkataan yang dilontarkan Jero terdengar buruk menurutnya, tapi melihat adiknya yang tampak biasa saja justru membingungkan. "Masuk aja deh, kalo penasaran." Yudha menggeleng, menolak saran Jero.

"Aneh lo."

"Gue balik ke ruang Attala."

Jero menyela. "Abis makan malam gantian yaa sama gue!" Yudha mengangguk, sebelum akhirnya melangkah menjauhi UGD, melupakan niat awalnya yang ingin mengisi perut.

**

Kakinya melangkah ringan memasuki ruangan putih, maniknya memindai segala penjuru sebab merasa asing dengan sekitar, rungunya menikmati suara mesin pendeteksi jantung yang membuat ruangan tak terasa sunyi. Attala baru saja dipindahkan karena mengalami peningkatan karena sudah melewati masa koma. Tepat lima belas menit sebelum menyentuh jam dua belas malam dimana hari akan berganti dan hari kelahiran menyambutnya.

Entah bagaimana rasanya merayakan hari kelahiran tanpa Attala walaupun sosoknya ada dan terpejam. Seharusnya tahun ini dia bisa merayakan ulang tahun pertamanya bersama Attala dan yang lain, di tahun sebelumnya mereka tak pernah merayakan bersama. Hanya ucapan selamat melalui video call atau voice note, sebab selalu ada saja kendala setiap tahunnya.

Dia mendudukkan diri di kursi samping ranjang. Memandang wajah Attala yang terpasang nasal kanul di hidungnya, tetap tampan pikirnya sambil tersenyum. Jero mengenggam tangan Attala yang tak tertusuk jarum infus, mengusapnya lembut menyalurkan kehangatan.

"Abang, kurang 10 menit lagi gue ulang tahun loh. Katanya janji, tahun ini rayain sama-sama?"

"Tahu nggak setiap kali gue doa pas ulang tahun apa yang gue minta? Lo. Gue minta lo untuk selalu sehat dan ada di sisi gue untuk tahun berikutnya. Gue selalu minta sama Tuhan untuk tolong izinkan kita merayakan hari kebahagiaan bersama suatu hari nanti, entah di tahun ke berapa gue selalu berdoa itu. Cuman kayaknya bukan tahun ini, gue masih harus terus berdoa dan menunggu dengar ucapan selamat dari lo."

Air matanya menggenang, hanya tinggal turun lalu membasahi pipi tembamnya. "Gue tungguin yaa.. gue bisa kok nunggu walau harus berhari-hari atau berbulan-bulan lamanya."

Jero menunduk, membenamkan wajah diatas punggung tangan Attala menangis dalam diam menyadari jika hari kelahirannya hanya kurang dari satu menit lagi, kembali dirayakan tanpa sosok yang diharapkan ikut merayakan.

'Selamat ulang tahun, Dek.'

Suara alarm yang sengaja dinyalakan, dengan latar rekaman suara bariton Attala membuat tangisannya semakin jadi. Ini lebih sakit dibandingkan tahun sebelumnya, Attala hadir tapi jiwa nya entah kemana tak bersamanya. Dia tidak bisa melihat pandangan tulus dan senyum teduh Attala, yang dia bisa lihat sekarang hanyalah wajah pucat dengan mata terpejam tanpa senyuman.

Tangisannya tak berhenti, Biru dan yang lain saja tidak berani mengusik dari luar pintu. Mereka memahami rasa sesak dan sakitnya Jero, bahkan Biru ikut menangis bersama Hosea yang tidak tega melihat pemandangan di dalam sana.

"Selamat ulang tahun, adiknya abang.."

Kelopak mata dengan bulu mata letik nan panjang yang terbuka lalu segaris senyum tipis yang membingkai di wajah pucatnya. Jero lupa caranya untuk berhenti menangis, air matanya lepas kendali tak terkontrol. Tuhan mendengarkan doanya, tak masalah walau telat dua menit Tuhan benar-benar membuatnya merasa dirayakan.

"Abang udah tepatin janji.. coba senyum dulu nangisnya nanti lagi ya? Kasian matanya bengkak." Tangannya terjulur menyeka air di bawah mata sang adik.

"Abang dimimpi disamperin sama pria dewasa, mirip lo banget dek. Katanya suruh bangun, ada kesayangannya yang lagi nunggu gue bangun untuk merayakan hari bahagianya bersama. Gue tepatin janji ya dek, sekarang giliran merayakan harinya Jero Judikta."

**

Special part untuk Jeon JK yang tahun ini 26 tahun.

Niat update Jum'at malah belum sempet dan baru bisa update hari ini. Thank you yang sudah baca Gadara, menunggu Gadara. Banyak kata cinta buat kalian dari aku dan anak-anak Gadara.

I love you

CHAPTER 2Kde žijí příběhy. Začni objevovat