9

612 106 16
                                    

Enjoy it!

**

Hidup tanpa kritik sosial itu hampa, berjalan lancar, lurus, namun tidak tahu tujuan sebenarnya apa. Bersosialiasasi tanpa paham cara mainnya, dikritik atau mengkritik.

Ketahanan batin diuji, menjadi bukti apakah pantas lulus dari jalan yang tak jelas arah mata anginnya.

Kemarin dia kehilangan sumber kritikan, walau sebenarnya tiap hari ada saja kritikan sampah yang datang. Sampah atau tidaknya suatu kritikan terlihat dari konteks yang dibahas. Jika berisi ujaran benci atau ketidaksukaan maka itu sampah, dia mencari yang bisa membuatnya tersadar akan kesalahan, mengingatkan jika dirinya salah  sekalipun harus tertohok sampai membekas. Selain orang itu, belum ada yang menandingi.

Namun, sekarang kini dia akan menagih semua kritik pada orang itu. Rela jika harus diumpat sebanyak air dilautan.

"Jadi gue tuh tolol ya, Bang?"

"Iya, lo tolol, idiot." Agak sakit, tapi nggak papa. Hosea kan anak psikolog.

"Aduh. Udah lama nggak denger umpatan lo. Kangen nih gue." Ujar Hosea dramatis sambil memegang dada kirinya. Yudha menggerlingkan mata tanda malas menanggapinya.

"Lo gue tinggal makin menjadi ya, Hos?"

"Hehe."

Yudha tersenyum kecil saat memasukkan barang belanjaan ke dalam mobil hitamnya. Oh jelas mobil baru, harus dipamerkan. Hosea bahkan sudah mengambil foto mobilnya dari berbagai sudut untuk diiklankan di situs jual online.

"Kritik apalagi yang mau lo dengar dari gue? Bukannya dulu udah semua?" Yudha sudah pegal menasehati Hosea, sebab segala saran yang dia berikan tetap dijadikan opsi kedua, opsi pertama tentu pilihannya sendiri.

"Itu saran, gue maunya lo sadarin gue. Biar nggak makin tolol kayak yang lo bilang."

Yudha sebenarnya paling susah menebak Hosea diantara yang lain. Pemuda itu memiliki dasar mengendalikan diri sendiri sebab dia mahasiswa psikolog, untuk mengetahui jalan pikiran Hosea, masih perlu waktu untuk memahaminya.

"Katanya anak psikolog, gitu aja nggak bisa."

"Eh bahlul! Ente kadang-kadang ya ente, psikolog bukan peramal. Kita ini menganalisis dari teori, jurnal, balik lagi teori, jurnal. Ya kali meraba-raba orang, buka slot gue kalo caranya kayak gitu."

Yudha tertawa hingga deretan gigi mungilnya menyembul keluar. Tangannya dengan lihai memutar stir mobil, pandangan mata sesekali melirik spion, mengacuhkan Hosea yang sedari tadi mengoceh tentang jurusannya.

"Kadang nih ya, gue suka capek sendiri sama pilihan jalan yang gue pilih. Bawaannya muak aja, nggak ada habisnya."

Hosea bersandar lelah, ntah kehabisan energi berbicara atau lelah seperti yang barusan diucap.

“Hos, nggak ada yang salah dari pilihan lo, setiap orang bebas memilih. Tapi yang salah adalah ketika lo memilih, kemudian lo. mengeluh. It’s like, you fucking too, huh.”

Tubuh Hosea seketika tegak, perlahan menoleh kearahnya. Buat dia sedikit merinding, sebab bola mata pemuda itu melotot kearahnya.

"Anjir, lumayan sakit ya. Tapi, benar juga kata lo. Gue udah dikasih waktu untuk memilih, saat dikasih gue nya justru mengeluh."

Yudha termenung, mengeluh? Dia lupa arti kata mengeluh. Terlalu lama mengunci bibir untuk tak banyak bicara tentang nikmatnya hidup, buat dia lupa bagaimana caranya mengeluh. Dia menerima apa yang diberikan, sebab mengeluh tak akan mengembalikan apa yang t'lah direnggut.

CHAPTER 2Where stories live. Discover now