portal

10 0 0
                                    

"Anjir, nggak bisa ke buka!" Umpat Bayu, seorang siswa yang menggenggam gagang pintu tersebut.

"Kunci cadangan ada nggak?" Sahut Galuh coba memeriksa sekitar area sana, siapa tahu memang tersedia kunci cadangan. "Coba lo tanya sama satpam, Gen," lanjutnya menyuruh Rigen yang berdiri di belakangnya.

"Nggak mungkin sempat lah, keburu dia loncat," timpal Rigen tak setuju. "Gimana nih, pak? Pintunya kayak di kunci dari luar," lanjutnya menoleh pada seorang guru yang juga datang bersama mereka.

"Dobrak aja. Minggir, biar bapak coba," usulnya segera bertindak cepat.

Brakkk....

Pak Dimas, mengerahkan seluruh tenaganya untuk membuka pintu yang terbuat dari kayu itu. Sekali, dua kali, hingga ketiga kalinya dicoba, namun pintu tersebut tetap tak bergerak sedikitpun. Masih tidak berhenti, dia kemudian menerjangnya kuat menggunakan kaki.

"Aneh sekali, kok masih nggak terbuka," gerutunya keheranan,  pasalnya pintu kayu di depannya ini sudah terlihat agak lapuk, jadi mustahil kekuatannya tidak bisa menggerakkannya barang sedikitpun. Alih-alih berhasil terdobrak, kayu di depannya malah tampak seakan remuk.

"Bentar dulu, pak," cegah Bayu menatap curiga. Dia sedikit membungkukkan badannya mencari celah yang bisa digunakan untuk mengintip keluar. "Pantas nggak bisa didobrak, ada besi yang mengganjalnya, pak," lapornya kemudian setelah menyaksikan situasi di balik pintu tersebut.

Pak Dimas menghembuskan napas gusar, begitu juga Rigen, dan Galuh. Tak ada cara lain, mereka harus naik melalui tangga samping tempat toren air yang berada di sisi gedung. Tepatnya, bagian luar gedung. Mereka harus berani mengambil risiko demi menyelamatkan seorang siswi.

"Kita lewat jalur darurat," ujar pak Dimas bergerak lebih dulu memimpin jalan.

Sementara di luaran sana, Tere melirik ke arah pintu saat bunyi dobrakan kencang berulang kali terdengar. Sunggingan di wajahnya semakin lebar karena puas, tak peduli meskipun Cheryl sudah bekali-kali memohon padanya agar dilepaskan. Bukannya kasihan, Tere justru tersenyum mengejek semua orang yang terlihat begitu bodoh dimatanya. Air mata buaya Cheryl sekalipun tak menurunkan tekadnya untuk menghabisi cewek itu. Belum lagi melihat orang-orang munafik yang tengah memelas di bawah sana. Sungguh pemandangan yang sangat disukainya.

Gadis itu mengalihkan atensinya tatkala mendengar obrolan orang-orang di depan pintu yang akan memilih jalan lain menuju ke sana. Diliriknya sebuah besi berukuran cukup besar yang masih menjadi penghalang pintu tersebut. Sangat mustahil orang-orang di dalam sana bisa menembusnya kecuali jika mereka punya ilmu yang mampu mematahkannya.

"Kita lihat siapa yang dulu datang. Mereka, atau kematian kamu," ucapnya tersenyum evil yang amat menyeramkan. Andai saja Cheryl melihatnya, dia pasti akan semakin ketakutan karenanya. Namun sayang, Tere lebih suka memberikan pemandangan ketinggian untuk cewek itu.

"Tere, please.... Gue minta maaf sama lo. Gue akuin gue emang sengaja ngedorong lo jatuh ke kolam. Tapi sumpah, gue nggak ada niatan lainnya. Please, lepasin gue sekarang," melasnya benar-benar ketakutan setengah mati. Apalagi dengan posisi tubuh yang seperti ini, seolah nyawanya tinggal berjarak beberapa meter saja dari tubuhnya.

Tak bisa dibayangkan jika dia terjatuh mengenaskan di tengah-tengah kerumunan teman sekolahnya. Betapa hancurnya nanti tubuhnya, belum lagi rasa sakit yang teramat menyiksa. Cheryl tidak sanggup membayangkannya. Jika dia sampai terjun, kemungkinan beberapa teman-temannya akan menjadi gila karena trauma. Cheryl belum siap mati. Tolong, siapapun juga hentikan Tere yang semakin menggila.

"SIAPA DI BELAKANG MU, CHERYL? HEI, APA YANG KAMU LAKUKAN? CEPAT TARIK CHERYL MUNDUR!" Ujar pak Harto kebingungan melihat adanya siswi lain di atas sana selain Cheryl. Akan tetapi yang mengherankan nya, mengapa tindakannya seperti akan menjerumuskan Cheryl ke bawah? Ada apa dengan anak itu?

Nada sumbang (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang