Halusinasi

14 0 0
                                    

"Bangun!"

Dengan deru napas sedikit berantakan, kedua mata tersebut akhirnya terbuka lebar walaupun dengan sedikit kejutan dari alam bawah sadarnya. Tere terkesiap tatkala dirinya mendengar sebuah suara yang cukup bergema di dalam pikirannya. Entah dari mana asalnya tapi itu berhasil membuatnya tersadar dari tidur panjangnya.

"Pasti mimpi," batinnya bergumam sembari menghembuskan napas dengan berat.

Masih dalam kondisi terlentang, sementara itu pandangannya terus tertuju pada langit-langit yang berwarna putih bersih dengan lampu yang bersinar terang di atas sana. Kedua kelopak matanya sesekali masih terpejam sendu berupaya menetralkan rasa kantuknya yang masih belum sepenuhnya hilang. Sejenak, Tere mengerutkan keningnya berusaha mencerna sesuatu saat dia menyadari tempatnya tersebut terlihat cukup asing. Tak lama kemudian, dia pun akhirnya menyadari sesuatu tentang peristiwa yang sebelumnya terjadi serta alasan dia berada di sana saat ini. Bagaimana mungkin dia lupa tentang kejadian sebelumnya yang mana harus membuatnya berdiam di rumah sakit guna mendapatkan perawatan karena sempat mengalami demam tinggi.

Tere merasakan bahwa suhu tubuhnya sudah tidak sepanas sebelumnya, mungkin demamnya perlahan telah menurun. Hendak dia mengecek panas pada keningnya, akan tetapi entah kenapa kedua tangannya tiba-tiba sulit untuk digerakkan. Sontak hal tersebut membuatnya mengernyit kebingungan. Apalagi ketika dia menolehkan wajahnya untuk memeriksa sesuatu yang menghalangi pergerakannya. Sekali lagi, gadis itu berhasil dibuat terkejut tatkala mendapati ternyata sebelah tangannya yang memang masih terpasang selang infus, namun dengan kondisi tak biasa. Kenapa tangannya tersebut harus diikat juga pada sisi ranjang? Keadaannya persis seperti pasien sakit jiwa yang sedang dipasung agar tidak memberontak.

Oh tunggu, tangan kirinya juga kenapa ini mendadak sangat susah digerakkan? Dia merasa seperti ada benda yang berukuran cukup berat menimpa tangannya sehingga dia kesulitan menariknya. Belum juga reda rasa penasarannya, Tere kembali dibuat tercengang heran karena hal tersebut. Dengan sedikit kesusahan, gadis itu menolehkan kepala ke sisi lainnya untuk melirik ke arah samping kirinya dan betapa terkejutnya dia saat mendapati keberadaan Jayden yang tengah berbaring di ranjang sebelahnya. Selain itu, tangan laki-laki itu juga sedang dalam kondisi mencengkram tangan Tere. Tak sampai di situ, dia juga lagi-lagi dibuat kebingungan melihat keadaan tubuh Jayden dengan kepala, tangan, serta kakinya yang dibaluti perban.

"Kenapa dia? Apa telah terjadi sesuatu kepadanya?" Pikirnya tak mengerti.

Perlahan, Tere berusaha melepaskan pegangan tangan Jayden darinya, akan tetapi belum sempat hal tersebut berhasil dilakukannya Jayden sudah lebih dulu terbangun saat laki-laki tersebut merasakan pergerakan di sampingnya. Keduanya sempat saling bertatap mata beberapa detik, sebelum akhirnya Jayden bangkit untuk duduk meski sedikit kesusahan akibat luka-lukanya. Lelaki itu masih bergeming menatap lurus gadis yang memasang wajah penuh tanya tersebut. Tak ada yang mau membuka obrolan, keduanya sama-sama terdiam sehingga membuat keadaan semakin hening saja.

Sebelah tangan Tere yang semula digenggam oleh Jayden terangkat ke depan. Dengan penuh kehati-hatian, dia kemudian meraba bagian kepala laki-laki itu yang dibaluti perban. Jayden tidak menepis perlakuan tersebut, dia bahkan membiarkan Tere mengusap-usap lukanya. Jauh dari dalam hatinya ada perasaan yang entah kenapa tiba-tiba membuatnya seperti hendak menangis. Tak hanya itu, tatapan mata Tere pun seperti menyiratkan kekhawatiran yang tentu saja disadari betul oleh Jayden.

Tere memejamkan matanya sesaat ketika Jayden mengangkat tangannya kemudian meletakkan punggung tangannya ke dahi gadis itu. Dia pikir Jayden mau memukulnya karena ekspresi wajah yang ditampakkannya seperti orang marah. Padahal sama sepertinya tadi, Jayden hanya ingin mengecek suhu tubuh gadis itu. Tak lama, laki-laki tersebut seperti hendak berdiri, namun sayang kakinya terlalu sakit untuk berpijak. Alhasil, dia pun nyaris terjatuh jika saja tidak ada ranjang Tere yang menopangnya. Tere spontan mau membantu sahabatnya tersebut, akan tetapi pergerakannya terbatas karena satu tangannya masih dalam keadaan terikat pada pinggiran ranjang.

Nada sumbang (End)Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora