sekutu

18 0 0
                                    

Tuk,

Segelas air diletakkannya ke atas meja. Tere mendongakkan wajahnya menatap wajah datar tak bersahabat itu sekilas sebelum akhirnya kembali memperhatikan pemandangan di depannya. Sementara Jayden bergerak berjalan menuju sebuah kursi di hadapan gadis tersebut yang terhalang sebuah meja kecil. Sebagai tuan rumah yang baik, Jayden masih bersedia menyuguhkan air untuk tamu tak diundang itu, ya meskipun agak terpaksa.

"Makasih," ucap Tere kemudian dan tak lupa sembari tersenyum manis.

"Hm," hanya gumaman menjadi jawabannya. Jayden memperhatikan Tere yang sedang menenggak minuman tersebut sembari menunggu waktunya untuk bisa bertanya perihal peristiwa yang barusan saja terjadi. "Lo punya niat buruk apa sama gue?" Tatapannya penuh intimidasi.

Tere terdiam sejenak kemudian membalas sorot tak suka itu dengan santainya. "Kalau gue bilang gue mau maling, lo akan percaya?" dia memasang wajah tengilnya.

Terdengar Jayden mendengus karena kesal merasa di ejek oleh tampang menyebalkan itu. "Dengar, gue paling nggak suka privasi gue diganggu. Sekali lagi gue tanya sebelum gue seret lo dari sini. Kenapa lo bisa ada di rumah gue? Dan sembarangan nyelonong masuk kamar gue?" Selidiknya masih kesal dan penuh rasa curiga.

Tere malah menyengir lebar karenanya, dia sama sekali tidak merasa bersalah sedikitpun. "Gue salah masuk kamar," ujarnya justru semakin menimbulkan tanya.

"Salah masuk kamar? Bukan hanya itu, dari awal tindakan lo udah salah. Lo salah alamat, salah rumah, dan salah tempat!" Cerocos Jayden jengah. "Dengan sikap lo ini gue bisa bawa pihak berwajib kalau emang perlu. Ulah lo lancang dan gue tahu lo pasti punya niat buruk!"

"Lo kenapa sih, Tuan kucing? Kenapa sensian banget kalau ketemu sama gue?" Tere menatap keheranan namun merasa lucu dengan situasi ini.

"Punya otak kan? Setelah semua kejadian aneh lo dan sikap lo ke gue, kakak gue, teman-teman sekolah, lo masih berharap gue bisa berpikiran positif sama lo? Iya gue emang di cap gila di sekolah, tapi gue nggak bodoh untuk nggak menyadari bahaya yang lo bawa ke sekitar gue." Jayden sepertinya sudah merasakan kejanggalan ini sejak awal.

Tere terdiam membisu mendengar penuturan langsung dari laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai teman, ya walaupun memang hanya pengakuan sepihak olehnya. Dia tahu sedari awal Jayden tidak pernah menyukai keberadaan dan kehadirannya, tapi lebih dari itu entah kenapa Tere merasa kalau Jayden sebenarnya membutuhkannya. Entah untuk apapun itu, yang jelas setiap saat Tere terpancing agar selalu berdekatan dengan laki-laki itu. Satu sisi dia merasa aman bersama Jayden, seolah punya alasan tersendiri terlepas dari sesuatu yang itu. Hari ini mendengarnya berucap kalau Tere membawa bahaya untuknya rasanya juga tidak salah. Tapi dia tidak menyangka kalau Jayden semuak itu berdekatan dengan dirinya.

Mencoba untuk tetap berpura-pura bego, gadis itu memasang wajah kaget seolah-olah sedih. "Kok lo ngomongnya begitu? Salah gue apa emangnya?"

"Nggak usah pura-pura lupa ingatan apalagi bersikap sok polos kayak begini. Gue masih ingat betul ucapan lo beberapa hari lalu soal Vera. Dan juga tentang cerita mbak Fraya, dan gue....." Jayden terdiam cepat, tidak bisa melanjutkan kalimatnya saat matanya bersitatap dengan netra hitam kecoklatan tersebut. Entah kenapa dia jadi tak tega meneruskan kalimat menusuk yang terlintas dalam benaknya. "Intinya gue nggak akan tertipu sama penampilan Lo," lanjutnya seperti menutup-nutupi sesuatu.

Tere bergeming sesaat seraya mencerna semua perkataan yang didengarnya barusan. Tak lama senyum tipis pun kembali terbit dari sudut bibirnya yang berwarna merah muda itu. "Cuma karena itu?" Dia terkekeh kecil.

"Sekali berbohong tetap menjadi pembohong. Bukan hanya itu, lo juga udah mencelakakan Vera, jadi ada kemungkinan lo bakal nyakitin semua orang juga. Dan gue nggak bakal biarin lo melakukan itu, apalagi sampai berani menyentuh mbak Fraya, gue nggak akan tinggal diam."

Nada sumbang (End)Where stories live. Discover now