desas-desus

31 0 0
                                    

"Lihat deh,"

Cheryl mengangkat sebelah alisnya dan menoleh singkat ke arah yang ditunjuk oleh Megan. Keningnya mengerut keheranan ketika mendapati Tere yang sedang sibuk menutupi jendela kaca di sebelahnya menggunakan kertas kado. Keanehan tak berhenti sampai di situ, mereka juga semakin tak mengerti karena Tere melakukan pekerjaannya tersebut sembari menutup mata. Dia hanya meraba-raba tempat yang akan dia tempel kertas tanpa melihatnya.

Tawa kecil muncul dari mulut Cheryl seraya dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Agak lain tuh cewek ndeso," cibirnya merasa terhibur dengan aksi yang menurutnya kocak.

Megan ikut tergelak, namun matanya tetap memperhatikan dengan seksama. "Lo nggak tertarik ngajak dia gabung ke kita?"

"You've got to be jokes me! Seriously?" Dia menggeleng cepat. "Punya teman lemot kayak lo aja udah beban buat gue. Apalagi kalau nambah si..." Cheryl menggantungkan ucapannya, lantas melirik Tere dengan tampang mengejek. "Freak, sama kayak si ono tuh," lanjutnya menunjuk Jayden dengan isyarat sindiran senada.

Jayden mendengarnya hanya saja seperti biasa, dia tetap mencoba pura-pura tuli dan memilih mengabaikan celotehan tak berarti tersebut. Karena percuma juga kalaupun diladeni, mereka juga tidak akan pernah berhenti mengolok-oloknya sampai puas, mungkin. Toh, itu pun tidak akan memberikan dampak apa-apa pada kehidupannya yang memang sudah lama bermasalah.

Selang beberapa menit kemudian, jam pelajaran pun berbunyi dan tak lama Bu Pipin juga memasuki kelas dengan gaya tegas serta wibawanya yang mampu membuat mereka terdiam. Semua siswa berdiri dengan hormat sesuai aba-aba ketua kelas untuk kemudian memberikan salam, terkecuali Tere yang masih sibuk sendiri dengan kegiatannya. Rupanya hal itu didasari betul oleh mata tajam Bu Pipin  yang selalu terbiasa menyapu pandang setiap sudut kelas guna mengabsen murid-muridnya. Wajahnya ketika itu langsung terlihat geram.

"Queenesya Theresa!" Sentak nya seketika itu mengalihkan pandangan Tere. Gadis itu berdiri mematung karena terkejut, sedang semua orang kini tengah memandanginya dengan heran namun adapula yang terkikik lucu.

Bu Pipin melirik jendela yang sudah dipasangi kertas kado sebagai hiasan itu dengan sorot tak suka. "Cepat singkirkan benda itu dari kaca jendela. Ibu tidak suka dengan orang yang suka merusak fasilitas sekolah!" Dia menunjuk tepat pada tempat yang dimaksudkan.

Raut muka Tere yang semula terkejut langsung berubah memelas lengkap dengan guratannya. "Bu, jangan, saya mohon. Lagian ini cuma ditempelkan menggunakan selotip kok, bisa dicopot lagi," dia mempraktekkan cara pemasangannya yang selayaknya bongkar pasang.

"Untuk apa kamu melakukannya? Itu hanya akan merusak pemandangan. Lihat, cahaya yang masuk jadi terhalang kertas-kertas tersebut,"

"Saya tahu, Bu. Tapi, saya tidak bisa melepaskannya sekarang. Saya kesulitan berkonsentrasi kalau kacanya dibiarkan terbuka,"

"Tere_"

"Tolong, Bu. Saya janji cuma setiap akan belajar saja. Pulang nanti akan saya lepas, kok," muka penuh harapnya benar-benar berhasil membuat Bu Pipin tak bisa berkata-kata.

Wanita yang masih nampak muda itu hanya menghembuskan nafas pasrah karena tak tega. Ada-ada saja kelakuan anak didiknya yang kadang tidak bisa dipercaya begitu saja olehnya. Namun alibi yang disampaikan oleh Tere tersebut memang cukup masuk akal. Secara memang, pemandangan di luar jendela itu langsung mengarah ke taman yang banyak dilewati murid-murid. 

"Baiklah. Tapi jangan sampai terlupa untuk melepasnya kalau waktu pulang, atau staff sarana prasarana akan memberikan kamu hukuman atas pelanggaran fasilitas sekolah." Dia memperingatkan.

Tak berpikir banyak lagi, Tere segera mengangguk menyetujuinya. Saat ini dia benar-benar perlu penghalang mata antara dia dan kaca, cermin, atau apapun itu yang berpotensi dapat memantulkan bayangan tubuhnya. Entahlah, benda-benda sejenis itu begitu tabu kala berdampingan dengannya.

Nada sumbang (End)Where stories live. Discover now