target

16 0 0
                                    

Mengantuk. Satu kata yang bisa menggambarkan raut muka bantal tersebut.  Semenjak kejadian mimpinya bertemu dengan dua Qeira hari itu, Tere sudah tidak bisa tidur nyenyak lagi. Waktu istirahatnya benar-benar kacau sebab dia susah sekali terlelap bahkan meski sekadar memejamkan mata. Selalu saja bayang-bayang wajah Qeira menghantui kenyamanannya, sampai-sampai Tere kini terlihat bak orang yang setengah sadar. Dia tidak bisa membedakan mana manusia asli dan bukan, semuanya tampak sama baginya.

Selain itu, tak tahu mengapa mendadak entitas-entitas asing yang semula hanya sesekali dia dapati kini malah semakin sering dia jumpai. Suara-suara aneh, sosok-sosok menyebalkan, dan beragam gangguan pun juga begitu mengusik ketenangannya. Energi Tere benar-benar terkuras habis saat ini. Dia tidak mengerti mengapa semuanya bisa berubah seperti ini dan yang di alaminya lumayan dramatis. Apa ini berhubungan dengan dua Qeira yang di dalam mimpinya itu?
Entahlah, dia pusing memikirkannya.

"Hoammm........" Gadis itu menggeliat seraya menguap lebar. Tak peduli di mana tempat dia berada sekarang, Tere merasakan rasa kantuk yang teramat sampai-sampai berjalannya pun sedikit sempoyongan. Belum lagi mata panda yang terpampang jelas di sana, dan tubuh pucat itu. Bahkan tadi juga sempat ada beberapa orang  menegur gadis itu hingga ada juga yang menawarkan tumpangan untuknya karena merasa iba melihat kondisinya yang seperti orang sakit parah.

Tiba di sebuah persimpangan jalan, Tere menepi sejenak sembari duduk di beton yang memang disediakan pada pinggiran trotoar. Tangan lesunya membuka tutup botol air mineral yang tadi sempat dibelinya dari supermarket bersamaan dengan barang belanjaannya yang lain. Sesaat setelah dia menenggak minumannya rasa segar pun menjalar di kerongkongannya yang memang agak kering setelah seharian belum terisi apa-apa.

"Huh..... Rasa mau mati," Dia menghela napas panjang sembari sesekali mengusap wajahnya yang banjir keringat ditengah teriknya matahari.

Baru saja akan melanjutkan langkahnya, tiba-tiba dari seberang jalan terlihat wajah yang cukup familiar tengah berdiri menghadapnya. Bukan menerka-nerka tapi dari senyumannya orang tersebut memang sedang menyapanya. Melihat kondisi kanan-kiri yang mulai agak sepi, Tere pun langsung bergegas menyebrang jalan dengan menenteng barang belanjaannya hingga akhirnya keduanya pun bertemu.

"Tante Vira," sapanya tersenyum kikuk sebab Tere memang bukan tipe orang yang senang berbasa-basi.

Wanita paruh baya itu lagi-lagi bersikap ramah kepadanya hingga membuat keadaan semakin canggung bagi Tere. "Nama kamu Tere, kan?" Ujarnya dengan suara yang lemah lembut.

Gadis itu mengangguk singkat. "Iya, tan," timpalnya. Bukan untuk omong kosong semata, karena awal perjumpaan mereka di rumah sakit kemarin itu memang belum sempat memperkenalkan diri.

"Boleh tidak tante minta waktunya sebentar sekalian kita makan siang bareng?" Pinta wanita itu yang tentunya membuat Tere terkejut.

Pasalnya, untuk apa Tante Vira menemuinya? Entahlah apa ini ada kaitannya dengan Jayden, atau soal....... Sudahlah, daripada salah sangka lebih baik Tere ikuti saja kemauannya.

_____

"Jay!"

Laki-laki itu membalikkan badan saat mendengar seseorang memanggilnya dari belakang. Terlihat tak jauh dari tempatnya berdiri, Salma datang dengan senyuman cerianya yang sedari dulu tak pernah bosan untuk dilihat oleh laki-laki tersebut. Namun, entah kenapa untuk sekarang ini dia merasakan hal berbeda dari biasanya yang mana Jayden akan kentara sekali malu-malu kalau bersitatap dengan Salma. Tapi ini tidak sama sekali, bahkan dia justru terkesan santai, sikapnya justru seperti layaknya tengah berbicara dengan mbak Fraya.

Sesaat kemudian, mata Jayden terfokus pada sebuah paper bag yang berada di tangan cewek itu, namun tidak berlangsung lama dia kembali memusatkan perhatiannya pada Salma yang ternyata juga ikut memperhatikan barang bawaannya.

Nada sumbang (End)Where stories live. Discover now