trap

14 0 0
                                    


"Bram," tangis gadis itu pecah tepat ketika dia masuk ke dalam dekapan laki-laki yang berusia 7 tahun di atasnya itu.

Bram mengulas senyum tipis di sela-sela air matanya yang juga tumpah. "Akhirnya setelah sekian lama, kamu menangis juga," ucapnya terdengar mengejek.

Tere tidak peduli dengan apapun yang dikatakan oleh Bram, yang jelas kini dia merasa bahagia karena masih bisa memeluk seseorang yang amat berjasa kepadanya itu. Bram adalah pengganti Qeira, baginya dia adalah kakak satu-satunya yang dia miliki sekarang ini. Melihatnya dalam kondisi terluka parah tentu saja membuat hati Tere ikut menderita. Rautnya penuh dengan gurat ketakutan akan kehilangan lagi.

"Lo kenapa sih suka banget bertindak sembarangan? Kenapa nggak langsung bilang aja ke gue kalau lo udah menemukan orangnya? Kenapa juga harus sembunyi-sembunyi ketemuan sama gue? Lo masih anggap gue adek lo bukan, ha?" Kesalnya menumpahkan semua unek-unek beriringan dengan air matanya yang makin tak terbendung. Tere benar-benar nyaris dibuat patah untuk kesekian kalinya. Melihat kondisi kaki Bram yang sudah dibalut perban beserta alat penyangga nya, hatinya sangat tersayat.

Bram menyeka air mata dari wajah itu dengan kedua tangannya yang hangat. Dia juga sama, tak kuasa menahan tangisnya sebab kelemahannya adalah air mata adik-adiknya tersebut. "Tidak ada yang perlu kamu cemaskan, Queen,"

"Tere," koreksinya cepat. "Panggil Tere, gue nggak suka disebut Queen karena mengingatkan gue sama iblis sialan itu," keluhnya tak suka. Queen erat kaitannya dengan Lucifer, dan Tere sangat benci itu apalagi jika mengingat Agiro si tua bangka yang sok berkuasa juga membuatnya langsung emosi.

"Tere," ujarnya menuruti keinginan adik kecilnya tersebut.

"Begini lebih bagus," ungkapnya meski masih cemberut.

Lelaki itu tersenyum manis menyaksikan raut Tere yang kesal bercampur dengan air matanya yang belum juga kering. Sangat menggemaskan, persis seperti beberapa tahun yang lalu ketika anak itu berebut permen dengan Qeira dan dia menangis karena kalah. Bram merindukan kedua adik kecilnya yang dulu. Mereka yang lengkap, selalu bermain bersama walaupun sering saling menjahili dan kadang berkelahi. Dia merindukan masa-masa itu tatkala semuanya masih baik-baik saja.

"Gimana lukanya? Masih sakit banget nggak?" tanyanya begitu khawatir.

Bram mengangguk pelan. "Maaf, sepertinya aku nggak bisa main taekwondo bareng kamu lagi,"

Tere memanyunkan bibirnya. "Siapa juga yang mau main sama Lo," tampiknya berpura-pura enggan.

Laki-laki itu terkekeh kecil, lagi-lagi karena merasa senang dengan tingkah lucu Tere yang sudah lama dia rindukan. "Bagaimana sekolah mu?" ujarnya kemudian.

Terlihat, raut Tere yang semula manyun langsung berubah serius ketika mengingat tentang sekolahnya. "Kemarin ada yang bunuh diri lagi, dan anehnya kali ini kasusnya juga berurusan sama gue dan Jayden," tuturnya membuat Bram mengernyit heran. "Sebenarnya gue juga penasaran, penyebabnya itu ada di gue apa Jayden? Tapi saat ini semua tudingan terus menyerang Jayden, bahkan kemungkinan terburuknya juga lebih parah," lanjut Tere lagi memaparkan.

"Re, ingat misi kamu dulu. Jangan terkecoh dengan kejadian beruntun yang ada. Coba kamu telaah lagi, apa benar ini sebuah kebetulan?" Bram mencoba memperingatkan.

Gadis itu terdiam berpikir. Ucapan Bram masuk di akal. Apakah semuanya benar-benar terjadi secara kebetulan? Dia memang sering sekali mendengar rumor tentang petaka bagi semua orang yang berurusan dengan Jayden akan mengalami nasib sial. Jauh sebelum ini, mereka hanya mengatakan kalau orang-orang tersebut akan mengalami luka ataupun kecelakaan dengan penyebab yang tentunya masuk akal. Namun, kasus akhir-akhir ini malah semuanya menjurus pada bunuh diri yang anti-mainstream. Vera dan Bondan ditemukan dengan kondisi nyaris serupa, yakni gantung diri. Keduanya juga sama-sama pernah memiliki problem dengan Jayden dan.... dirinya?

Nada sumbang (End)Where stories live. Discover now