56. Epilog : The Lara Croft

11.4K 618 160
                                    

"Robby Baskara!" Seorang dokter perempuan bernama Nessa Anastasia dengan masker medis memanggil nama Robby.

Robby, dengan tangan diborgol berseragam narapidana, berjalan menuju bilik pemeriksaan kesehatan. Ini adalah bulan kedua ia ditahan. Akhirnya ia kalah di persidangan. Ia kehabisan uang dan dikhianati rekan-rekan bisnisnya yang berbelok membela Ali Sandi. Mereka melihat simpati publik lebih condong pada Ali Sandi, dan membocorkan semua kebusukan Robby di depan hakim, hingga akhirnya hakim percaya jika Jenderal Tak Berpangkat itu adalah Robby.

Ali Sandi sendiri tetap menjalani masa tahanan karena ia terbukti bersalah membiarkan kasus pembunuhan itu. Namun berkat ide Reynov yang menyuruhnya menjadi justice collaborator, dan mengingat kontribusinya di banyak bidang, pengadilan akhirnya menetapkan masa tahanan Ali Sandi hanya 2 tahun 4 bulan. Itu pun masih bisa mendapat remisi lagi.

Robby lantas memasuki bilik pemeriksaan kesehatan. Ia yang biasanya tampak berkelas dengan jas mahal dan rapi, hari itu tampak berantakan, dan jauh lebih tua serta semakin kurus.

"Bisa tolong beri saya pereda nyeri, Dok?" tanya Robby memelas. Terakhir kali ia semelas itu adalah saat ia meminta dipertahankan Ali Sandi di regu militer dua puluh tahun lalu.

"Bekas luka tembak di kaki saya sakit, Dok, tiap malam, atau tiap kali hujan, atau saat hari dingin. Selalu sakit sekali sampai ke tulang-tulang! Tolong beri saya obat pereda nyeri, Dok!"

Dokter itu menurunkan masker medis dari wajahnya. "Papah, ini Cassie!" katanya.

Robby tak berkedip. Cassie, anak didiknya, berhasil menyusup ke penjara. Cassie bahkan memanggil Robby Papah. Robby tampak senang sekali. Ia meraih tangan Cassie. Ia harus tampak seperti ayah yang rindu pada anaknya agar Cassie luluh.

"Cassie, satu-satunya anak perempuan Papah, yang paling pintar, paling patuh. Papah kangen sekali! Kamu ke sini untuk menyelamatkan Papah?"

Cassie mengangguk. Ia menyerahkan sebungkus obat dan selembar kertas anjuran pemakaian obat. Robby melihatnya. Itu bukan sekedar kertas. Ada instruksi meloloskan diri!

Robby tersenyum. "Anak perempuan memang selalu lebih sayang ayahnya!"

Cassie membalas senyum itu dengan tatapan seorang anak yang ingin segera bertemu ayahnya. Ia telah menulis langkah demi langkah agar Robby bisa kabur malam ini.

Maka, di jam makan malam, saat para tahanan ke ruang makan, Robby harus izin ke kamar mandi. Cassie telah menyiapkan seragam sipir di dalam keranjang sampah di salah satu bilik kamar mandi. Lalu, menyamar sebagai sipir, Robby menuju ruang pembuangan. Robby harus masuk ke saluran air di bawah tanah di ruang pembuangan itu. Ia harus berjalan sepanjang tiga ribu meter di saluran air itu, hingga mencapai ujung saluran air yang mengarah ke sungai.

Sialnya, kaki Robby yang terkena luka tembak selalu terasa sakit di malam hari, di hari dingin, apalagi kini ia harus berjalan membelah air kotor setinggi pinggang itu sejauh tiga ribu meter. Ia menahan sakit luar biasa di kakinya.

Robby mengangkat sebelah kakinya dari air. Terlihat jahitan bekas luka tembak itu menjadi luka basah menjijikkan berbau amis. Daging di luka itu tampak menganga kemerahan, lembek, bercampur benang-benang jahit serta kotoran-kotoran dari air got. Menjijikkan sekali. Rasanya pun luar biasa sakit. Seperti kakinya diiris-iris.

Robby tidak tahan lagi melangkah. Ia menepi, berdiri bersandar pada dinding. Tapi di luar hujan deras. Gelombang air malam itu meninggi cepat sekali. Mencapai dada, lalu mencapai pundak, hingga kemudian menenggelamkannya. Ia berusaha berenang dengan kaki sakit luar biasa. Tubuhnya terpental-pental menghantam dinding terbawa arus. Sungguh, itu bukan cara untuk kabur, melainkan cara untuk bunuh diri.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fiasco KafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang