46. The Hero

5.5K 546 20
                                    

Ali Sandi menunggu di lantai bawah. Napasnya sudah berat, terancam serangan jantung. Dengan wewenangnya, siaran TV live yang menyiarkan pesta bisnis itu ia suruh berhenti. Ia juga sudah menelepon regu militernya, tapi perizinan di pemerintahan selalu berbelit-belit. Akses menuju gedung itu juga cukup sulit karena ada di tepi tebing. Butuh waktu untuk menerjunkan pasukan.

Sedangkan Robby, ia masih bergerilya. Ia harus membuat Ali Sandi mengakui pembunuhan itu lalu memenjarakannya. Dan Ali Sandi hanya bisa menurut jika putrinya diancam. Maka Robby kembali menuju ke ruang penuh gas beracun tempat Amara dan Reynov ia kunci. Jika prediksinya benar, Reynov harusnya sudah mati, lalu ia akan dengan mudah menyandera Amara.

Tapi Reynov dan Amara rupanya sudah tidak ada. Tinggal darah bekas luka Reynov saja di lantai. Ia ikuti tetesan darah itu yang mengarah ke sebuah pintu ruang meeting. Ia buka pintu itu, dan segera Reynov serta Odi menghujaninya tembakan. Robby pun turut membalas dengan bertubi-tubi tembakan.

Reynov melihat sekilas pistol yang Robby bawa. Ada logo mahkota di ujung pistol itu. Itu pistol Cassie. Ironis. Cassie mengkhianati mereka.

"Kalian, tidak punya cukup senjata. Lebih baik kalian menyerah!" kata Robby.

Reynov tidak bisa banyak bergerak. Ia hanya menembak sambil duduk di balik pilar. Odi juga tidak terlalu jago menembak. Mereka mulai kewalahan. Ia cek pelurunya, dan hanya tersisa dua butir.

"Reynov, serahkan pacarmu itu. Kamu tidak akan menang melawan saya!" kata Robby.

Reynov melihat Amara di sebelahnya yang menutup telinga ketakutan dengan suara peluru. Ia harus segera menyudahi perang ini, hanya dengan dua butir peluru.

"Amara, saya akan nembak lampu di atas kepalanya Robby. Lalu, kita lari ke sana. Oke?"

Amara mengangguk dengan instruksi Reynov. Odi yang diberi tahu dengan isyarat tangan juga mengangguk paham. Maka, segera Reynov tembak lampu raksasa di atas kepala Robby. Lampu itu jatuh pecah menimpa Robby. Lalu, Dibantu Amara, Reynov pun segera berjalan menuju ke pintu keluar.

Tak mau kalah, Robby masih berusaha bangkit dengan kepala berdarah dan kembali menembaki. Reynov nyaris tertembak saat Erik tiba-tiba melompat, melindungi Reynov, membuat peluru-peluru itu bersarang di punggung Erik.

"Erik!" Reynov kaget dengan kemunculan Erik. Tubuh Erik jatuh menimpanya. Ia memapah Erik bersembunyi dari hujan tembakan Robby.

"Brother..." Erik berkata pelan tidak jelas di tengah gemuruh peluru. Ia memuntahkan darah. "Robby membunuh gua. Anak kandungnya sendiri. Hebat, ya, dia!" Ia tersenyum kecut.

"Erik! Kita cari Cassie. Kita obatin lu sambil kita bawa lu ke rumah sakit!"

Erik kembali muntah darah, tapi ia tersenyum. "Gua seneng orang terakhir yang gua lihat adalah lu, kak! Gua... nggak punya hutang budi lagi sama lu... kakak!" Ia berjalan menjauh. "Lari!"

"Apa?"

"Lari! Gas beracun ini makin banyak!"

Erik tiba-tiba mendorong Reynov keluar ruangan. Erik dengan cepat menutup pintu kaca ruangan itu, mencegah gas itu keluar ruangan. Rupanya sebelum kabur, Robby sempat melempar botol cairan beracun itu ke dalam ruangan, dan cairan itu kini berubah menjadi gas.

"Erik! Lu gila! Lu mau bunuh diri?!" Reynov berusaha membuka pintu kaca itu, tapi Erik menekan tuas di bawah pintu itu sehingga pintu terkunci dari dalam. "Erik buka pintunya! Lu nggak perlu berkorban sampai kayak gini! Erik!"

Erik jatuh menggelepar di lantai dan tubuhnya gemetar hebat hingga berubah menjadi kejang-kejang. Kulitnya kian memucat putih. Reynov mengeluarkan pistolnya hendak memecahkan pintu kaca itu dengan peluru terakhirnya.

"Bang, jangan!" Odi melarang. "Kalau lu pecahin kaca ini, gasnya nyebar keluar. Kita semua bisa mati. Dan pengorbanan Erik nyelametin kita akan sia-sia!"

Reynov melihat Odi dan Amara yang juga sudah kesulitan bernapas karena gas beracun itu. Ia jatuh terduduk di lantai. Samar-samar di tengah tebalnya kabut gas itu ia lihat mulut Erik mengeluarkan busa. Reynov menangis, merasa bersalah karena membiarkan Erik meninggal sedangkan ia tidak bisa berbuat apa-apa.

"Erik, lu nggak pernah hidup bahagia, kenapa akhir hidup lu harus kayak gini?!" Reynov meraup wajahnya menangis. Ia bahkan tidak bisa memeluk jasad Erik untuk terakhir kalinya. Ia teringat masa kecilnya bersama Erik. Laki-laki itu dulu anak yang baik, tapi Robby selalu menyia-nyiakannya.

"Robby lu setan!" Reynov bangkit berdiri. Kini dendam yang perlu ia balaskan bukan hanya dendam ayahnya, tapi juga dendam Erik. Ia berjalan cepat mengejar Robby dengan kaki pincangnya. Marah.

Di tengah jalan ia bertemu Cassie yang datang karena mendengar tembakan.

"Ren, lo kena tembak?" Cassie tampak khawatir. Ia membuka ransel medisnya.

"Gara-gara lo, Erik mati!" Reynov marah. Ia mendorong Cassie dengan kasar.

"Apa? Erik? Erik .... meninggal?"

"Gara-gara lo Robby jadi bisa nyerang kita. Lo yang bikin Erik jadi kayak gini, Cassie! Lo yang bunuh Erik! Kalau aja lo nggak kasih Robby senjata, dan kalau aja lo nggak bikin racun gas itu, Erik masih hidup!"

Cassie menangis karena Reynov membentaknya. "Lo kenapa selalu nyalahin gue sih, Ren? Lo nggak pernah menghargai gue!"

"Emang apa yang bisa dihargai dari lo?! Cinta obsesif lo itu? Gue harus berterima kasih ke lo karena itu? Gue bahkan nggak tahu air mata lo sekarang ini beneran atau palsu. Lo beneran berempati atau nggak, gue nggak tahu! Gue udah nggak kenal lagi siapa lo sekarang!" Reynov menantang Cassie.

"Reynov, stop!" Amara dan Odi berhasil mengejar Reynov. "Robby sengaja bikin kalian berantem. Dia ngadu domba kalian. Cukup, Reynov!" kata Amara.

Tapi Reynov masih ingin memarahi Cassie. "Kalau aja lo cowok, lo udah gue gebukin sampai mati! Pengkhianat kayak lo yang harusnya mati! Bukan Erik!" Mata Reynov tampak menyala. Marah besar.

"Bang, udah, Bang!" Odi ikut mendekati Reynov.

Cassie tidak tahan lagi terus dianggap pengkhianat, apalagi pembunuh. Tubuhnya lemas. "Lo keterlaluan, Ren!" Ia berlari pergi dan menangis. Bukan akhir seperti ini yang ia harapkan.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now