35a. Love Under the Moonlight

5.1K 557 13
                                    


Reynov segera membawa dokumen palsu instruksi pembunuhan itu pada Ali Sandi. Ia ingin Ali Sandi yang memiliki jabatan tinggi itu kembali mengusut kasus ini dan mengumumkan pada publik siapa pembunuh orang tuanya.

Maka ia datang ke rumah mewah Ali Sandi dan akan menaruhnya di ruang kerjanya. Sialnya, satu-satunya area bebas CCTV di rumah itu hanya kamar Amara. Dulu Reynov bisa dengan mudah menyelinap melalui kamar itu. Tapi sekarang Amara sudah pulang ke rumah itu dan menempati kamar itu lagi. Alhasil, ia harus menunggu sampai Amara serta Ali Sandi pergi.

Lantas saat kesempatan itu tiba, ia segera mengenakan topeng Vendetta yang biasa ia gunakan saat menyamar. Lalu dengan mudah ia melompat pagar. Ia merambati dinding, mencapai balkon kamar Amara, kemudian menuju ruang kerja Ali Sandi, dan meletakkan dokumen itu. Semua itu ia lakukan hanya dalam lima belas menit.

Lantas, di ruang kerja itu tiba-tiba ia tertarik dengan album foto lawas para pasukan khusus. Ia lihat ada foto dan deretan prestasi ayahnya di situ. Reynov tersenyum. Ia ingat betapa serunya bermain perang-perangan dengan ayahnya.

"Kalau kamu mau jadi pahlawan, kamu harus ambil bagian," kata Ayahnya waktu itu. "Hiduplah yang berdampak, jadi kalau kita mati kita punya legacy, manfaat yang ditinggalkan. Oke, Jenderal Reynov?"

"Oke!" Reynov kecil mengangkat tangannnya hormat pada ayahnya.

Album foto itu membuatnya rindu ayahnya. Maka ia ambil dan ia bawa pulang album itu.

Sedangkan di lantai bawah, Amara kembali lagi ke rumahnya karena ponselnya ketinggalan. Lalu ia melihat sekelebat sosok bertopeng mengendap-endap dari ruang kerja ayahnya menuju kamarnya.

"Reynov?" Amara hafal betul perawakan Reynov. Orang itu juga memakai topeng yang Reynov gunakan saat menculiknya. Itu betul Reynov!

Maka ia segera berlari ke kamarnya di lantai atas, dan saat laki-laki itu hendak melompat dari balkon, segera ia tarik tangan laki-laki itu. "Reynov! Berhenti!"

Reynov kaget Amara berhasil menangkapnya. Ia dorong Amara, lalu kabur.

"Aaaa! Sakit!" Amara berteriak kesakitan karena Reynov mendorongnya hingga menghantam tepi ranjang tidurnya.

Reynov berhenti dan menoleh. Dilihatnya Amara jatuh di lantai memegangi kepalanya yang terbentur. Tidak tega, Reynov menghampirinya dan ikut duduk di depannya. Tapi rupanya Amara hanya pura-pura. Ia segera melepas topeng Reynov.

"Reynov?" Amara masih tidak percaya Reynov bisa menyelinap ke sini.

Reynov merebut topengnya lagi. Kesal karena Amara hanya menjebaknya. Ia malu harus bertemu Amara dalam kondisi ketahuan menyelinap seperti pencuri.

"Kamu... kamu udah berapa kali masuk ke rumah ini?" tanya Amara.

Reynov berdecak. Malas menjawab. "Dua."

"Dua kali?"

Reynov mengedikkan bahu. "Dua bulan," jawabnya. "Berapa kalinya saya lupa!"

Amara ternganga. Reynov semakin menakutkan baginya. Sepertinya apa saja bisa diterabas oleh laki-laki itu. Ia lalu melihat album foto yang Reynov pegang.

"Kamu nggak perlu mencuri. Kamu bisa minta tolong saya buat ambilin album foto itu!"

Reynov malu ketahuan mencuri. Tapi, toh Amara juga sudah tahu kalau ia bahkan pernah membunuh. "Ini emang kerjaan saya. Mencuri, memalsukan dokumen, mencelakai orang, bahkan membunuh. Kamu udah tahu. Kamu nggak perlu sok kaget!"

"Kamu punya opsi untuk berhenti!"

"Nggak ada opsi untuk berhenti, sampai kasus kematian ayah saya ini selesai!"

"Tapi itu nggak baik!"

"Udahlah, jangan ceramah lagi! Iya-iya kamu orang baik, dan saya jahat!"

Reynov malas diceramahi. Ia berbalik dan bersiap melompat dari balkon, tapi Amara menarik tangan laki-laki itu, membalik badannya, dan memeluknya, tidak tahan terus bertengkar dengan Reynov. Rasa kangennya melebihi kekecewaannya pada sisi gelap Reynov.

"Kamu jangan marah-marah terus!" pinta Amara.

Reynov terkejut Amara memeluknya. Ia diam membatu. "Kamu... bukannya benci saya?"

Amara menggeleng di dada Reynov. "Nggak jadi, kok!"

Reynov menelan ludah. Pelukan itu sungguh mengunci gerakannya. "Kamu tahu siapa saya, emangnya kamu mau nerima masa lalu saya?"

Kali ini Amara mengangguk.

"Saya pernah menodongkan pisau ke leher ayah kamu, bahkan... mungkin saya juga bisa membunuhnya. Kamu... nggak takut?"

Amara menggeleng. "Kamu bukan pembunuh. Kamu bahkan mengiris jari kamu sendiri waktu menculik saya. Kamu bukan pembunuh," katanya yakin.

Susah payah Reynov berusaha menghapus dosanya sebagai pembunuh. Lalu saat ada seseorang yang percaya bahwa ia bukan pembunuh, seluruh beban batinnya tiba-tiba menguap hilang. Ia hanya ingin lepas dari jerat rasa bersalah ini. Dan temaram bulan yang tampak lebih besar di titik perigee malam itu, sungguh sangat menenangkan. Keduanya lalu hanya diam menikmati waktu, menebus rasa kangen selama pertengkaran kemarin.

"Makasih, ya, kamu masih mau percaya sama saya," kata Reynov. Amara hanya mengangguk di dadanya. Reynov mendekapnya lebih erat. Kepercayaan Amara sungguh sangat berarti.

"Oya... ngomong-ngomong," Reynov bertanya takut-takut, "kamu... udah cerita tentang hubungan kita ke ayah kamu?"

"Belum, sih," jawab Amara. Ayahnya membenci Reynov, bahkan mau memenjarakan Reynov. Bagaimana ia bisa bercerita pada ayahnya?

"Pokoknya saya akan ceritain yang bagus-bagus tentang kamu!" kata Amara.

"Kamu... mau cerita apa tentang saya ke ayah kamu?"

"Ya... pokoknya yang bagus-bagus. Kayak... emm... apa, ya?" Amara mengingat-ingat. Apa yang bisa ia ceritakan tentang Reynov ke ayahnya? Pencuri? Pemalsu dokumen? Penggelap pajak? Penculik? Lah... Kenapa jelek semua? Nggak ada prestasinya sama sekali!

"Jangan cerita dulu, deh!" larang Reynov.

Gubrak! Reynov jadi jiper. Ia melepaskan pelukannya. Pejabat militer sekelas Ali Sandi mana mau menerima kriminal seperti dirinya jadi pendamping putrinya.

"Saya mau benerin hidup saya dulu. Biar CV saya bagus kalau ditunjukin ke ayah kamu!" kata Reynov minder. Kalau saja dia adalah Satya si dosen biologi yang hidupnya lempeng itu. Dia bisa seharian pamer prestasi ke calon mertua. Ah... sepertinya ini akan menjadi hubungan yang berat.

"Jangan cerita dulu, ya," kata Reynov. "Minimal sampai kasus ini selesai."

"Emang kapan kasusnya selesai?" tanya Amara.

Reynov juga tidak tahu. "Sebentar lagi," jawabnya. "Kasus ini akan selesai sebentar lagi." Ia menatap mata Amara, berusaha meyakinkan.

Amara mengangguk percaya. Reynov lalu memeluknya lagi. Ia sangat suka ketika perempuan itu menyandarkan kepala di dadanya, membuatnya merasa seperti ia bisa diandalkan dan berguna sebagai laki-laki. Ia kembali menatap langit. Bulan purnama yang tampak lebih dekat, dan hangatnya tubuh Amara di dekapannya memberinya kekuatan. Ia harus segera menghancurkan Robby.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now