47. Lex Talionis

4.7K 454 13
                                    

Robby harus mati. Mata diganti mata, nyawa diganti nyawa, asas lex talionis. Nyawa Erik harus Robby tukar. Maka, Reynov menyeret kakinya. Robby harus mati di tangannya. Ia tidak peduli jika ia terjerat kasus hukum setelahnya.

"Lo kejar Bang Reynov!" perintah Odi pada Amara. "Dia kalau lagi marah, apa-apa bisa diterabas! Inget, ada wartawan TV di luar sana, dan kita bakal diadili di pengadilan besok. Entah sebagai korban, saksi, atau tersangka!"

Amara mengangguk. Ia mengejar Reynov, sedangkan Odi mengejar Cassie.

"Reynov!" Amara berlari mengekori Reynov.

Reynov terus berjalan dengan kaki pincangnya, menyibak pintu gedung itu satu per satu. Gedung itu cukup besar. Dengan kaki pincangnya, berjalan mengitari gedung saja sudah menguras tenaga.

Hingga akhirnya ia lihat Robby di sebuah ruangan, sedang mengisi peluru. Reynov bersembunyi di balik pilar, dan mengacungkan pistol, bersiap menembak. Tapi tangannya terlalu gemetar. Ia sudah sangat lemah, pucat, dan kehilangan banyak darah. Bahkan kepalanya berdenyut keras, menyebabkan benda-benda di hadapannya tampak memiliki bayang-bayang ganda.

"Reynov..." Amara khawatir. Ia lihat tangan Reynov gemetar mengangkat pistol.

Reynov kembali menurunkan pistolnya. Tidak kuat. "Amara," panggil Reynov.

"Ya?"

"Bunuh Robby!" Reynov menyerahkan pistolnya pada Amara.

"Saya?" Amara tentu kaget. "Saya belum pernah pakai senjata sama sekali! Saya nggak bisa!"

"Harus bisa!" perintah Reynov. Ia sudah tidak jelas lagi melihat, sebelah tangannya nyaris lumpuh, sebelahnya lagi gemetar hebat tidak kuat mengangkat pistol. "Amara, dengerin saya. Cuma ada satu peluru tersisa di sini. Ini satu-satunya kesempatan. Dengan kondisi saya, peluang menembak tepat sasaran cuma satu persen. Sedangkan kamu, paling nggak kamu punya dua persen."

Amara melihat Robby di seberang sana. Sangat jauh. Memegang pistol saja ia selalu dilarang ayahnya. Apalagi menembak. Dan itu adalah peluru terakhir yang Reynov miliki.

"Nggak. Saya nggak bisa!" Amara menggeleng.

"Amara, orang itu yang membunuh ayah saya. Tolong balaskan dendam saya dan ayah saya!" Reynov memohon. "Minimal itu yang bisa kamu lakukan, untuk membayar kesalahan ayah kamu yang tutup mata atas kasus itu." Ia membuat Amara berada di posisi terjepit.

Tidak bisa menolak, akhirnya Amara meraih pistol itu. Dengan kaku ia memegangnya.

"Ayo, kamu bisa. Kayak yang tadi saya ajarin. Kamu tarik dulu bagian belakang pistol biar pelurunya masuk ke chamber, tunggu sampai target berhenti bergerak, lalu fokus ke target."

Amara mengikuti instruksi Reynov. Ia memincingkan sebelah matanya, berusaha fokus melihat target. Ia arahkan pistolnya mengikuti pergerakan Robby yang masih mondar-mandir.

"Kamu harus yakin! Fokus! Tembak jatungnya!" perintah Reynov.

Amara mengangguk.

"Demi saya, dan ayah saya. Bunuh dia!" Reynov terus memberi pressure.

Amara mempertajam pandangannnya, dan saat Robby berhenti bergerak...

"Tembak!" perintah Reynov.

DOR! Suara tembakan menggema. Robby terpental jatuh menghantam dinding, dan segera balas menembak. Robby mengacungkan pistol ke arah asal tembakan dan menembak berkali-kali. Reynov langsung memeluk Amara merapat berlindung di balik pilar besar gedung itu.

"Dia masih hidup!" bisik Amara, merasa bersalah dan gagal.

Reynov mendongak sedikit. Benar, Robby hanya tampak kaget dengan tembakan tadi dan kini masih berdiri tegap. Dua persen yang ia pertaruhkan terbuang sia-sia. Hujan tembakan dari Robby tak terelakkan. Reynov menghitung. Ada enam tembakan. Pistol yang Robby gunakan adalah milik Cassie, yaitu Glock-43 yang hanya memuat sepuluh peluru. Itu berarti masih tersisa empat peluru lagi.

Fiasco KafeDove le storie prendono vita. Scoprilo ora