44. You Should be Mine

5.1K 495 9
                                    

Tanpa sepengetahuan Reynov, rupanya Odi dan Cassie dicegat oleh Robby. Veteran perang itu memprovokasi. Odi bersikukuh ada di pihak Reynov, tapi Cassie masih bimbang. Haruskah ia terus mendukung Reynov tanpa mendapat balasan, dan bahkan tadi ia lihat sedang mencium Amara?

"Cassie, anak perempuan Papah satu-satunya. Kamu masih percaya Papah, kan?" Robby memulai peran melankolisnya. Tiba-tiba ia menyebut dirinya Papah di depan Cassie. "Papah selalu percaya kamu, Cassie. Papah selalu mendukungmu."

"Cassie, jangan percaya dia!" teriak Odi. Ia dikunci di sebuah ruangan.

"Cassie, lihat Papah, percaya Papah!" Robby menyuruh Cassie menatapnya.

Cassie terus menangis. "Tapi, Bos yang membunuh ayah saya!" katanya lemah.

"Maaf... maaf... Papah benar-benar minta maaf!" Robby memeluk Cassie dengan pelukan sehangat sosok ayah yang Cassie rindukan. "Ya, Papah sudah jahat ke kamu. Waktu itu Papah selalu dibanding-bandingkan dengan prajurit lainnya. Ali Sandi tidak pernah memilih Papah. Kamu tahu persaaan tidak pernah dipilih? Kamu tahu perasaan tidak pernah dianggap? Kamu tahu perasaan tidak dihargai? Perasaan ketika kamu sudah mengupayakan segalanya tapi tetap orang lain yang dipilih? Kamu tahu perasaan itu? Dicampakan... diabaikan... dibuang..."

Cassie mengangguk di dalam pelukan Robby. Ia paham perasaan itu. Lututnya lemas mengingat Reynov mencium Amara tadi. Dicampakan. Diabaikan. Dibuang.

"Cassie, Papah tidak akan membiarkan satu-satunya anak perempuan Papah yang pintar, cantik, dan penurut ini mengalami hal yang sama. Kamu layak mendapatkan apa yang kamu mau. Kamu tidak pantas dicampakan, diabaikan, apalagi dibuang." Robby melepaskan pelukannya dan menatap lurus-lurus. "Jadi, bunuh perempuan itu. Dapatkan Reynov!"

Robby melihat Cassie mulai terpedaya. Memprovokasi wanita patah hati adalah hal yang mudah. "Bunuh perempuan itu. Reynov akan jadi milikmu!"

Cassie menangis. Dibesarkan di kamp militer sebagai satu-satunya perempuan, memaksa ia bekerja lebih keras agar setara dengan tiga rekan laki-lakinya. Ia jadi cenderung lebih ambisius dan dominan dibanding wanita pada umumnya. Ia selalu ambisius terhadap apa yang ingin ia capai. Padahal, ada satu hal yang tidak bisa diperoleh dengan kerja keras, mau seberambisi apa pun ia. Cinta. Ia tahu ini tidak benar. Cinta yang ia pelihara hanya obsesi belaka. Nihil ketulusan. Tapi, ia tidak pernah gagal. Kali ini pun, ia tidak mau gagal. Sekalipun ia harus membunuh.

Cassie membuka ransel besar berisi peralatan medisnya dan mengobati luka Robby. Sambil melakukan tindakan medis, ia mendengarkan seluruh instruksi Robby yang menyuruhnya membuat berbagai gas beracun dari obat yang ia bawa.

Lantas, di atas meja marmer wastafel, ia mulai melarutkan berbutir-butir obat dan berbagai zat kimia. Di kamp militer, Ia bukan hanya dokter yang mengobati, tapi juga pembunuh yang meracuni. Semua obat diracik olehnya, hingga para target seolah mati terkena penyakit tanpa indikasi pembunuhan.

"Reynov, lo harus jadi milik gue!" Cassie menyeka air matanya. Ia mencampur zat terakhirnya ke dalam tabung kaca. Jika agent lain menyiksa dengan senjata, ia menyiksa hanya dengan sebutir obat. Ia seperti psikopat cantik berhati dingin.

"Lo mati, Amara!" Cairan kimia berbahaya itu sudah jadi.

"Ya, dia akan mati, dan Reynov akan jadi milikmu." Robby tersenyum. Ia menatap Cassie dari pantulan cermin. "Good job, Cassie. Papah bangga denganmu."

*****

Sekitar lima belas tahun lalu...

Cassie datang ke panti asuhan saat ia berusia 10 tahun. Ibunya depresi berat karena ayah Cassie meninggal secara misterius. Ibunya tidak bisa merawatnya dan harus tinggal di rumah sakit jiwa.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now