51. Darren Collins

5.1K 491 13
                                    

"Amara! Kamu gila! Kamu mau bunuh diri?!" Reynov marah dengan kelakuan Amara. Ia mendapat informasi dari pengawal Ali Sandi jika Amara berulang kali berusaha bunuh diri. "Kamu nggak boleh nekat kayak gitu lagi!"

PLAK! Amara tiba-tiba menampar Reynov keras-keras.

"Amara, kamu..."

PLAK! Amara menampar Reynov lagi. Reynov paham apa yang Amara rasakan. Ia layak mendapat tamparan ini. Tidak cukup dua kali, Amara tampar lagi pipi Reynov, tapi kali ini Reynov menahan tangannya.

"Stop! Kamu cuma bikin sakit tangan kamu sendiri!" kata Reynov. Laki-laki itu tidak tampak kesakitan, justru tangan Amara yang rasanya membengkak karena berkali-kali menampar Reynov.

"Oke, sekarang apa penjelasan kamu? Kenapa kamu harus pura-pura mati kayak gitu?" Amara mulai menginterogasi. Ia duduk di ranjang kamar inapnya. Sedangkan Reynov duduk di kursi di hadapannya.

"Ini sudah saya dan ayah kamu rencanakan dari awal," kata Reynov.

"Ayah? Ayah saya tahu rencana ini?"

Reynov mengangguk. "Kalau saya gagal membunuh Robby malam itu, maka saya, Cassie, dan Odi harus pura-pura mati. Tim ayah kamu sedang berusaha membersihkan nama kami biar kami cuma dianggap korban pencucian otak organisasi terlarang."

"Terus kenapa cuma Ayah yang dikasih tahu?"

"Karena kalau upaya pembersihan nama ini gagal, dan saya ketahuan masih hidup dengan identitas palsu, saya akan dijadikan tersangka, dan saya harus kabur ke luar negeri. Selamanya!" Reynov menatap Amara lurus-lurus. "Dan kalau saya beneran harus kabur ke luar negeri, saya nggak mau kamu terus nungguin saya berharap tanpa kepastian. Jadi lebih baik dari awal kamu ngiranya saya udah mati."

"Apa? Kamu pikir saya masih mau hidup kalau kamu mati?!" teriak Amara. "Ya kalau kamu ke luar negeri, saya ikut ke luar negeri juga!"

"Amara, nama kamu bersih, sedangkan saya ini buron. Kamu nggak bisa hidup sama saya!"

"Kenapaaa?!" teriak Amara putus asa. "Kamu tega banget bohongin saya kayak gini! Kamu jahat banget. Pokoknya kalau kamu mati, saya juga ikut mati!"

Reynov benar-benar tidak menyangka akan ada orang yang setulus ini mencintainya. Selama ini hidupnya bagai robot dan hanya fokus menuruti perintah Robby. Lalu mendengar Amara bahkan ingin ikut mati jika ia mati seperti ini, sungguh menyentuh hatinya.

"Pokoknya kalau ada apa-apa kamu harus cerita ke saya!" kata Amara. "Jangan bohongin saya! Jangan ninggalin saya kayak gini! Saya nggak mau hidup sendirian nggak ada kamu!"

"Iya-iya, maaf, ya!" Reynov mencium kening Amara dan memeluknya.

Reynov membiarkan Amara menangis dan mengomel sepuasnya. Ia pun berulang kali harus minta maaf. Lantas, mendengar Reynov terus meminta maaf, Amara mulai luluh juga. Bagaimana pun rasa kangennya lebih besar dari pada rasa marahnya.

"Reynov, makasih ya, karena kamu masih hidup! Kamu jangan pergi lagi!" Amara masih menangis di dada Reynov. Lantas, setelah tenang ia bertanya pada Reynov, "Terus sekarang rencana kamu apa? Kenapa kamu ganti nama jadi Darren Collins?"

Reynov menjelaskan, "Secara administratif, saya dinyatakan udah meninggal. Jadi saya harus pakai identitas orang lain."  Reynov menunjukkan empat KTP. "Mereka adalah orang yang hilang sekitar sepuluh tahun lalu, dan nggak dicariin sama keluarganya. Saya bisa pakai identitas mereka. Menurut kamu bagusan yang mana namanya?"

Amara tampak tidak peduli. Yang penting baginya adalah Reynov masih hidup. "Terserahlah mau pakai yang mana aja!"

"Bagusan mana? Doni? Astaga... ini nama-nama cowok playboy! Rendi, hiiih sok asik namanya! Satria? Halah... mirip nama dosen biologi mantan kamu itu! Ini Odi nggak bener nyariin data!" Reynov mengomel sendiri. "Jadi, ya pilihan terakhir tinggal ini. Darren Collins."

"Tapi, kok, bule banget namanya!" Amara meraih KTP atas nama Darren Collins itu. Lalu matanya tertuju di kolom status pernikahan pada KTP milik Darren Collins itu. Tertulis di situ jika Darren Collins adalah seorang... duda!

"Kok, duda, sih? Nggak ada yang lain? Cari yang lain aja, deh!" protes Amara.

"Dia yang rekam jejaknya paling bersih dibanding puluhan orang hilang lainnya," kata Reynov. "Nggak apa-apalah duda. Lagian, dia yang foto KTP-nya paling mirip sama saya. Biasa, saya kan terlahir ganteng kayak bule!"

"Kamu habis mati, begitu balik hidup langsung narsisnya kumat, ya!" Amara selalu ilfeel kalau Reynov mulai narsisnya. "Terserahlah pakai nama apa aja. Yang penting kamu masih hidup!" katanya.

Reynov hanya tersenyum. Ia kangen sekali menjaili perempuan ini.

"Terus aparencana kamu selanjutnya?" tanya Amara.

Reynov menghela napas. "Kita harus kalahin Robby di persidangan. Kalau bisa, kita bunuh dia. Tapi di kondisi kayak gini, kalau dia sampai mati, justru kita akan dicurigai," katanya. "Oya, akting kamu bagus banget di pengadilan kemarin. Nangis-nangis sampai pingsan. Simpati publik ke kamu dan ayah kamu naik pesat. Wah... bravo!" Reynov bertepuk tangan.

"Akting?" Amara tersinggung reaksinya di persidangan dianggap akting. "Itu saya beneran nangis karena kehilangan kamu! Kamu bener-bener nggak ngehargain saya yang berhari-hari nangis sampai pingsan. Malah dibilang akting! Kamu tega banget!" Amara jadi marah lagi.

"Iya-iya, maaf, ya. Itu satu-satunya cara penyelamatan diri yang ada di pikiran saya! Saya nggak tahu lagi harus gimana. Kalau saya nggak pura-pura mati, dengan muka saya yang udah tersebar di mana-mana sebagai Jenderal Tak Berpangkat, dan dengan Robby yang dibantu banyak koleganya, saya bisa langsung dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, atau bahkan hukuman mati. Saya bener-bener nggak tahu lagi harus gimana. Seenggaknya dengan cara ini saya bisa sembunyi sebentar buat mikir taktik selanjutnya."

Mendengar penjelasan Reynov, Amara jadi turut prihatin.

"Terus gimana? Apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Amara.

Reynov juga tidak tahu. Ini pertama kalinya ia melawan Robby. Ia tidak punya rencana yang matang.

"Emm... Saya lagi ngumpulin data, sih," kata Reynov. "Ada di apartemen saya. Mau ikut ke sana?"

Fiasco KafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang