36. Who Rules the Country

5K 510 20
                                    

Robby menyesap wine dengan tenang, sambil menatap temaramnya bulan yang berorbit di titik perigee malam itu. Ia menikmati pencapaiannya menjadi penguasa politik terkuat. Padahal, dulu Robby selalu ada di peringkat terrendah.  Ali Sandi sering membandingkan Robby dengan tiga rekannya. Ia dendam. Maka, ia bunuh saja ketiga rekannya agar ia bisa jadi yang terbaik tanpa dibandingkan.

Sekitar dua puluh tahun lalu...

"Mereka mati dibunuh tentara misterius," kata Robby dua puluh tahun lalu pada Ali Sandi begitu kembali dari misi kudeta, dan hanya ia yang selamat.

"Apa? Kamu betul tidak tahu siapa pembunuhnya?" tanya Ali Sandi.

Ali Sandi memijit keningnya. Ini akan menjadi kasus yang rumit. Tidak boleh ada yang tahu tentang kematian tiga prajurit itu. Rencana kudeta itu saja sudah menjadi pelanggaran berat yang harus ditutupi, apalagi ditambah kematian tiga prajurit itu. Akhirnya, Robby dipecat secara diam-diam oleh Ali Sandi. Robby semakin sakit hati. Ia membunuh tiga rekannya karena ingin menjadi yang terbaik, tapi ia justru dipecat.

"Saya bisa tutup mulut! Saya bisa pura-pura tidak tahu! Saya akan menuruti kata-kata Bapak. Tolong pertahankan saya di regu Bapak!" pinta Robby pada Ali Sandi.

"Kamu pikir saya punya pilihan lain?! Saya tidak bisa mempertahankanmu. Saya akan membuatmu pensiun dini dengan alasan kesehatan."

"Pak, saya mohon tolong pertahankan saya!" Robby berlutut memegangi kaki Ali Sandi. "Apa Bapak tidak mempertimbangkan kontribusi saya selama ini? Saya selalu patuh dan menurut. Saya juga akan diam atas kudeta ini."

"Tidak ada kudeta! Saya sudah katakan tunggu perintah saya. Kudeta itu masih tahap rencana. Tidak ada perintah tertulis dari saya. Kalian yang bergerak sendiri!" Ali Sandi menggebrak meja. "Kenapa kalian bisa bergerak sendiri? Kamu memalsukan surat perintah atas nama saya?"

"Tidak, Pak!"

"Bohong!" Ali Sandi menempeleng kepala Robby.

"Tidak, Pak!" Robby masih mengelak. Ali Sandi langsung menempeleng lagi.

"Lalu kenapa kalian bisa bergerak sendiri melakukan kudeta?"

"Karena kami yakin dengan rencana Bapak. Kami ingin menjadikan regu kita sebagai pahlawan. Menjadikan Bapak sebagai pahlawan!"

Ali Sandi mendorong kepala Robby. "Kamu itu prajurit! Tugasmu itu cuma patuh. Kamu tidak bisa berinisiatif sendiri! Semua harus sesuai protokol dan jalur hierarki! Kamu tidak tahu kondisi politik di luar sana!"

Robby menunduk, menangis. "Maaf, Pak! Kami bersalah dan tidak patuh!"

Robby sengaja memalsukan dokumen surat perintah kudeta atas nama Ali Sandi, dan membuat tiga rekannya percaya bahwa Ali Sandi memerintahkan kudeta militer. Lalu, setelah kudeta militer itu berhasil, ia tembaki kepala tiga rekannya dan ia tutupi jejaknya dengan bersih, berharap ia menjadi satu-satunya yang tampak berhasil menjalankan kudeta. Tapi, kini Ali Sandi bukannya memberinya penghargaan, justru menyalahkannya.

"Kamu bisa saya penjarakan, bahkan dihukum mati karena kamu mengkudeta presiden atas nama saya, tanpa perintah yang sah dari saya!" ancam Ali Sandi.

"Maaf, Pak! Tolong selamatkan saya. Saya berjanji tidak mengulanginya lagi."

"Kamu saya pensiunkan!" Ali Sandi memutuskan, "Ini satu-satunya jalan terbaik. Saya sudah siapkan pekerjaan untukmu di luar pulau, di perusahaan batu bara ayah saya. Kamu bisa bekerja di sana. Pekerjaannya bahkan lebih mudah dari pada di militer!"

"Tidak, Pak! Saya tidak ingin pindah. Saya ingin di sini, di militer, mengabdi pada Bapak!" Robby terus memohon ia memeluk kaki Ali Sandi. Tapi Ali Sandi tidak peduli. Ia tendang Robby, dan ia tinggalkan tentaranya itu.

Ali Sandi harus mengamankan jabatannya. Berkat jabatannyalah ia punya koneksi untuk menyelamatkan bisnis keluarganya yang nyaris bangkrut. Rencana kudeta militer itu, anak buahnya yang bergerak sendiri melakukan kudeta, lalu kasus kematian tiga prajurit itu, semua itu hanya akan menjadi duri dalam daging baginya. Biarkan saja kasus ini sunyi tenggelam, tanpa ada yang tahu. Maka semua pihak akan aman.

Hari itu, Robby angkat koper meninggalkan kamp militer kebanggaannya. Ia pergi ke perusahaan batu bara milik keluarga Ali Sandi. Ia bekerja di sana. Tapi, ada hal lain yang menarik di pulau itu. Ada banyak sekali kasus penyelundupan di sana. Robby akhirnya keluar dari perusahaan Ali Sandi, dan bergabung dalam sebuah jaringan mafia yang menguasai banyak kartel perdagangan. Dari situlah Robby bisa menciptakan kerajaan bisnisnya.

Ia Jenderal Tak Berpangkat. Semua pejabat yang memerlukan dana kampanye atau dana naik jabatan, semua berhutang padanya, termasuk Ali Sandi yang ingin jabatannya naik secepat kilat. Atasannya yang dulu selalu menganggapnya bodoh, bahkan mengusirnya, kini justru mengemis meminta bantuan padanya. Ia sangat menikmati wajah-wajah arogan para pejabat yang mengemis padanya.

Robby tertawa menang. Tanpa pangkat dan jabatan, ia bisa mengatur negeri ini. Bahkan ia bisa merakayasa kejahatan agar seseorang terikat padanya, seperti Reynov, Cassie, Odi yang ia perdaya dengan dongeng balas dendam kematian orang tua mereka. Merekrut tiga anak itu adalah perkara mudah. Mereka hanya anak kecil dengan kondisi keluarga yang berantakan secara ekonomi dan psikologis pasca ayah mereka meninggal. Kondisi yang sangat lemah, dan mudah dicuci otaknya.

Robby gembleng mereka dan bahkan ia sekolahkan mereka hingga ke luar negeri. Ia investasikan waktu, tenaga, dan uangnya, lalu ia pekerjakan mereka menangani berbagai misi kotor bertarif fantastis. Dalam beberapa tahun ia sudah balik modal. Semuanya semata-mata adalah bisnis terstruktur dan terukur.

"What a beautiful life." Robby kembali meneguk wine sambil membelai jutaan dolar di dalam koper yang kliennya berikan. Ia segera menelepon kliennya untuk berterima kasih. "Saya sudah menerima pembayarannya. Ali Sandi akan hancur besok, sesuai permintaan Anda!"

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now