38. Dear Erik

5.1K 499 17
                                    

"Jika Reynov muncul menghalangi rencana kita, bunuh dia!" perintah Robby.

Erik menelan ludah. Bahkan Robby kini tega membunuh anak didiknya sendiri. Erik sebenarnya tidak masalah membunuh siapa pun. Tapi jika membunuh teman satu kamp yang telah hidup belasan tahun dengannya sejak kecil, tegakah ia?

"Erik, jika Reynov mati. Siapa yang akan memanggil saya Papah?"

Mendengar kata itu, Erik langsung gelap mata. Ia selalu iri Reynov bisa memanggil Robby Papah. "Baik, saya akan bunuh Reynov."

Erik yang biasa urakan dan suka bermain-main, kali ini tampak dingin dan serius. Ia tidak mau gagal di misi ini; membuat Ali Sandi mengaku sebagai pembunuh. Ia ingin diakui Robby sebagai anak. Ia adalah anak kandung Robby, maka ia akan menunjukkan jika ia layak memanggil Robby Papah.

                                                       *****

Sekitar dua puluh tahun lalu....

Erik. Ia hanyalah anak dari hubungan semalam Robby bersama seorang wanita murahan tak berpendidikan. Robby tidak pernah berniat menjadi ayah. Tidak ada untungnya bertanggung jawab atas kehamilan wanita itu. Tapi saat tahu bahwa wanita itu cukup licik dan bisa mempengaruhi penguasa area itu, Robby yang saat itu bukan siapa-siapa bersedia menikahinya. Hanya untuk membangun jaringan.

Dan saat wanita itu sudah tidak punya pengaruh lagi, Robby meninggalkannya. Sialnya, wanita itu juga tidak mau mengurus Erik. Erik kecil yang masih berusia enam tahun diusir dari rumah bordil tempat wanita itu tinggal. Ia dianggap tidak berguna. Kalau saja dia perempuan, minimal ia masih laku dijual. Tapi dia hanya anak laki-laki yang bisanya menangis.

Berbekal sedikit uang dan sebuah alamat, Erik mencari Robby. Sendirian. Dengan tubuh kecilnya. Dengan nyali ringkihnya. Ia naik bus, dan berjalan kaki belasan kilometer. Kelaparan. Kehujanan. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah rumah sederhana di tengah perkebunan sawit. Ia ketuk pintu itu, berharap ayahnya membukakan pintu dan masih mengingatnya.

"Mau apa kamu?" Beruntung Robby masih mengingatnya. Itu saja sudah membuat Erik senang.

"Papah!" Erik kecil langsung memeluk kaki Robby dan menangis, memohon-mohon agar diizinkan tinggal bersama ayahnya.

Robby tetap dingin. Ia melihat Erik seperti seekor tikus got kotor. Ia menghela napas. "Oke. Kamu boleh tinggal di sini. Tapi kamu harus patuhi perintah saya!"

Erik mengangguk. Setidaknya ia diizinkan tinggal di situ dan diberi makan. Sehari-hari ia disuruh bersih-bersih. Robby memiliki banyak musuh, maka ia suruh Erik bermain layangan, atau berlari-lari layaknya anak kecil pada umumnya sambil memata-matai musuhnya. Itu satu-satunya keuntungan memelihara Erik.

Suatu ketika, seorang musuh tahu jika Erik adalah anak Robby. Orang itu lantas menculik Erik dan mendesak Robby menyerahkan wilayah kekuasaannya.

"Serahkan wilayah kekuasaan kau, atau anak kau mati!" kata orang itu dengan aksen daerahnya.

"Kenapa saya harus menyerahkan wilayah kekuasaan saya? Saya memenangkan tender ini dengan adil. Kalian saja yang bodoh tidak membaca surat-surat perjanjiannya!"

"Heh, kau berani sama kami? Kami sudah menguasai wilayah itu puluhan tahun. Dan kau datang baru beberapa bulan hanya bermodal surat perjanjian!" Orang itu marah. "Serahkan wilayah itu, atau anak kau kami gorok lehernya."

Robby tertawa. "Ambil anak itu. Dia hanya anjing penjaga rumah!" Ia meninggalkan Erik.

Erik sangat kecewa dan ketakutan melihat ayahnya pergi. Para penjahat itu berniat membunuhnya untuk meluapkan kemarahan mereka pada Robby. Tapi insting menyelamatkan diri Erik cukup tajam. Ia bisa melarikan diri. Tengah malam, di tengah perkebunan sawit, gelap gulita, di bawah ancaman serigala dan babi hutan liar yang bisa menerkamnya kapan saja, ia terus berlari tanpa tahu arah dengan kaki kecilnya. Ia menangis. Kecewa pada ayahnya. Hingga keesokan harinya ia berhasil menemukan jalan pulangnya ke rumah ayahnya.

Fiasco KafeWhere stories live. Discover now