85. Jangan Bilang Sean Setan Lagi

Start from the beginning
                                    

Sean merasa heran dengan kepercayaan diri Seje yang begitu tinggi tersebut.

"Siapapun yang kenal gue pasti tahu betapa gue cukup bisa diandalkan dalam hal ngajarin orang lain. Lo lupa, gimana dulu Genta—teman sekelas kita yang sama sekali gak tahu caranya main uno, akhirnya bisa jadi jago banget karena gue ajarin?"

Sean mendadak dibuat bernostalgia sebentar, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepalanya pelan.

"Nah, itu aja gue bisa. Apalagi ini!"

Melihat antusiasme dan semangat Seje yang begitu membara, Sean akhirnya tak bisa melakukan apa-apa lagi selain tertawa pelan dan membiarkan Seje yang kini telah menggeret tubuhnya untuk masuk ke arena lapangan skating.

Well, mungkin perkataan Seje tadi benar adanya.

Siapapun bisa menjadi muridnya dan akan berakhir bisa jika diajarin olehnya.

Namun Seje lupa kalau yang sedang berdiri di hadapannya dengan langkah tertatih-tatih ini adalah Sean.

Siapapun akan kesulitan untuk mengajari sosok yang serba bisa tersebut.

Masalahnya, karena terlalu banyak hal yang sudah dikuasai oleh Sean, membuatnya berakhir sama sekali tak memiliki bakat di bidang yang memang tak bisa ia kuasai sedikit pun.

Dan ice skating adalah salah satunya.

"Apa gue bilang? Gue emang gak bakat main ini," ucap Sean yang dua tangannya sedang menggenggam erat sepasang lengan Seje di hadapannya.

Laki-laki itu tampak beberapa kali nyaris jatuh, tapi untung Seje yang cekatan buru-buru menahan tubuhnya. Walau sempat nyaris oleng karena memang, tubuh Sean yang jauh lebih besar dari Seje agak membuat gadis itu kesusahan.

"Enggak, lo pasti bisa kok." Seje optimis.

Benar-benar sebuah sikap yang tak membuat Sean lantas terbakar semangat. Melainkan kian pesimis, terutama kala langkah yang diambilnya kini berakhir membuat tubuhnya oleng sekali lagi.

"Huwa!"

Laki-laki itu spontan berteriak pelan. Membuat Seje buru-buru menarik tubuhnya dan mendekapnya kuat-kuat.

Lucu sekali, kala kini keduanya terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berangkulan, namun dengan Sean yang memeluki leher Seje, persis anak kecil yang sedang ketakutan.

Sementara itu, Seje yang didekap begitu kuat oleh Sean, membuatnya tak bisa melakukan apa-apa selain membiarkan seluruh wajahnya terbenam ke dalam dada bidang laki-laki itu. Membuatnya tak lagi bisa melihat dunia, selain pandangan gelap di hadapannya.

"Je..."

Merasa terpanggil, Seje lantas agak memundurkan wajahnya dari dada Sean, kemudian mendongak. Langsung mempertemukan tatapannya dengan sepasang iris cemas milik Sean di atasnya.

"So-sorry, gue meluknya kekencengan ya?"

Seje menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

"Enggak," katanya pelan.

"Tapi muka lo sampe merah gitu—ah..."

Kedua pipi Seje lantas kian memerah. Membuatnya buru-buru menundukkan kepala, menghindari kejaran mata Sean yang sudah tampak seperti hendak menggodanya. Seje tahu, kata-kata apa yang akan keluar dari mulut Sean berikutnya.

"Eiiii, gue tahu! Muka lo merah karena malu ya?"

Kan benar, Sean pasti akan menggodanya seperti ini.

"Udah-udah jujur aja. Gak papa kok. Jangan disembunyiin gitu mukanya. Coba sini gue lihat, udah semerah apa?"

"Iiiiih apasih? Gak lucu tahu!"

RIVALOVA: Should I Marry My Fabulous Rival?Where stories live. Discover now