66. Sungguhan atau Kepura-puraan?

Start from the beginning
                                    

"Sean... Seje... sayang, ayo bangun."

Itu adalah suara mama, dan Sean yang mendengarnya lantas buru-buru meletakkan barang-barang di tangannya ke atas sebuah nakas dekat kamar mandi. Ia kemudian menatap pada Seje, memberi isyarat bahwa mereka harus segera membukakan pintu dan menyambut sosok di luar itu segera.

Maka, di sinilah mereka sekarang, tepat di ambang pintu kamar yang baru saja mereka buka dengan sosok mama Sean yang juga sudah berdiri di hadapannya.

"Woah, kalian sudah bangun ternyata?" Perempuan paruh baya yang masih tampak begitu cantik itu menyapa ramah nan hangat. Seolah dua sosok yang ada di hadapannya itu adalah sumber kebahagiaan yang membuat senyum tulusnya begitu betah untuk ada di wajahnya. Tak lenyap sekalipun.

"Udah dong ma, aku bahkan tadi udah ke dapur buat rebus air," jawab Sean cepat.

"Loh, iya toh? Mama kok gak tahu?"

"Mama belum bangun kali."

"Eh, sembarangan! Mama tuh selalu bangun subuh-subuh ya."

"Ya barangkali pas aku ngerebus air tadi, mama masih di kamar."

"Iya, ya. Bisa jadi."

Sean cuma tersenyum tipis.

"Ngomong-ngomong, ngapain kamu pagi-pagi ngerebus air? Tumben?" tanya mama sedikit penasaran. Karena mama tahu bagaimana tabiat Sean yang tak begitu suka minum teh atau kopi di pagi-pagi sekali. Laki-laki itu memang tak terbiasa mengisi perutnya di jam-jam dini. Biasanya, ia baru mulai sarapan paling cepat saat waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi.

"Itu ma tadi, kepala Seje kepentok dinding. Terus ya udah, direbusin air buat ngompres."

Mendengar jawaban Sean tersebut, mamanya itu pun langsung mengalihkan tatap pada sang menantu perempuan yang berdiri di samping Sean itu. Lalu, perempuan paruh baya berkulit putih pucat itu buru-buru memajukan tubuh dan menghampiri Seje dengan tampang cemas. Sebelah tangannya telah bergerak memegangi kepala Seje pelan.

"Seje sayang, kepala kamu benjol? Kok bisa? Ya ampun..."

Kentara sekali, perempuan lembut yang masih betah dipanggil Seje dengan sebutan tante itu sedang cemas bukan main. Bahkan tatapan teduhnya tak henti-hentinya menghujami Seje seolah memaksa gadis itu untuk menceritakan segala hal yang telah terjai padanya.

"Eum, iya tan... gak tahu pas bangun tadi dari kasur, akunya oleh terus yaudah gitu. Mentok dinding hehehe."

Seje berupaya menampilkan cengiran "tak apa-apanya" yang tampak begitu canggung itu, namun tak jua berhasil membuat mama mertuanya itu tenang. Wanita 50an tersebut justru menghembuskan napasnya pelan. Masih tampak khawatir dengan kondisi Seje yang sebenarnya memang tak apa-apa tersebut. Hanya kepalanya yang sedikit benjol.

"Seriusan tan, aku gak apa-apa kok. Syukur tadi Sean udah bantuin buat ngompres kepala Seje. Beneran..." Seje berujar dengan sepasang mata meyakinkan.

"Beneran? Kamu serius?"

Seje menganggukkan kepalanya cepat.

"Beneran, tan." Kata perempuan itu keukeuh.

"Baiklah kalau memang begitu. Mama percaya sama kamu."

Seje menarik dua sudut bibirnya lalu tersenyum tulus.

"Tapi ngomong-ngomong, mau sampai kapan kamu manggil mama dengan sebutan tante? Kamu itu sekarang udah bukan anaknya tetangga atau anak temen baik mama lagi. Kamu itu sekarang udah jadi isterinya Sean. Kamu menantu mama. jadi jangan panggil tante lagi dong."

Sean yang mendengarnya lantas melirik pada Seje sebentar. Mendapati wajah gadis itu yang mendadak tegang dan tak enak. Karena merasa bahwa dirinya yang memanggil sang mama mertua dengan sebutan tante adalah sebuah kesalahan yang seharusnya tak ia lakukan. Seje pikir, mama Sean mungkin tersinggung atau parahnya, hubungan mereka yang tak sesuai ekspektasinya akan terendus oleh wanita itu.

"Eum, maaf ma. Seje... belum terbiasa," kata perempuan itu pelan.

Begitu pelan sampai Sean sempat mengira kalau Seje sedang berbisik.

Syukurnya, mama Sean dapat mendengar dengan jelas dan langsung menjulurkan kedua tangannya pada Seje. Meremat lembut dua bahu Seje lalu menggosoknya pelan dan mendekapnya sesaat.

"Gapapa kok, mama cuma bercanda hehe. Mama ngerti kok, pasti berat buat kamu terbiasa manggil mama yang selama ini kamu sebut tante ini. Gapapa. Pelan-pelan aja ya sayang."

Mendengar bait demi baik kalimat afeksi dari mama mertuanya yang terdengar begitu lembut tersebut, Seje tak bisa menyembunyikan rasa senang dan bahagianya. Lantas, perempuan yang lebih muda itu pun membalas dekapan sang mama dengan nyaman lalu menampilkan satu senyum tulusnya.

"Makasih ma," bisik perempuan itu sungguh-sungguh.

"Ya sudah kalau begitu, kalian buru siap-siap ya. Kita sarapan bareng di bawah sama papa juga."

Mama yang sudah mengurai peluknya itu berujar memberitahu sementara Seje dan Sean serempak menganggukkan kepala.

Well, suasana pagi ini tampaknya akan sangat berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya di antara Seje dan Sean yang cenderung dingin atau penuh dengan keributan.

Pagi ini, keduanya mungkin akan benar-benar merasakan kebersamaan layaknya sepasang suami isteri muda yang sedang menghabiskan waktu terbaik mereka bersama keluarga.

Dan sampai saat itu, baik Seje maupun Sean, keduanya tak tahu apakah mereka melakoninya sebagai sepasang suami isteri sungguhan atau sekedar memenuhi keperluan mereka yang sama-sama butuh untuk mempertahankan rumah tangga yang tak sungguh-sungguh itu.

Ya, setidaknya semua masih sebatas pura-pura, selama mama dan papa Sean belum tahu kebenarannya.

****

****

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
RIVALOVA: Should I Marry My Fabulous Rival?Where stories live. Discover now