28. Permintaan Maaf dari Ayah

2.9K 273 7
                                    

Kini Dika menatap seseorang dihadapannya yang hanya dibatasi dengan kaca transparan itu dengan lamat-lamat, wajahnya yang semakin tidak terurus semenjak terakhir kali ia melihatnya benar-benar membuat Dika beranggapan bahwa lelaki yang lebih tua darinya itu mengalami pergolakan batin yang lumayan cukup signifikan.

Apakah lelaki ini bisa benar-benar menyadari kesalahannya?

"Mau ngapain lagi, sih? Kamu mau ngejek Mas karena rencana kamu berhasil?" Sinis Dimas menatap Dika tanpa minat.

"Apa? Rencana apa? Aku gak merencanakan apapun, ini semua maunya Ayodhya." Jawab Dika jujur, "Mas masih denial sama apa yang sudah Mas lakukan selama ini?" Dika tertawa miris.

"Setelah melihat keadaan Mas yang seperti ini, aku kira Mas sedikit punya perasaan bersalah atas semua tindakkan Mas," Dika menggantungkan kalimatnya, "Tapi ternyata aku salah, ya? Aku mengharapkan apa sih dari orang yang rela melakukan apapun untuk kepentingannya sendiri?" Lanjutnya.

"Kamu sebut Mas egois? Anak itu sendiri yang bikin Mas mengingat masa lalu itu, lalu kamu melimpah ruahkan kesalahannya sama Mas?"

"Anak itu punya nama, Mas." Tekan Dika dengan rahangnya yang mulai mengeras.

"Persetan! Dia anak Mas, Mas bisa sebut dia sesuka hati Mas. Mas sebut anak goblok juga terserah lah. Kamu gak ada hak!" Sentaknya marah sampai ditegur oleh penjaga yang ada tepat di belakangnya.

Dika terkekeh geli, "Sekarang Mas ngakuin Sena sebagai anak Mas untuk berlindung dan mencari pembenaran atas hal yang sudah jelas-jelas salah?" Tanya Dika menatap Dimas remeh.

"Manusia macam apa kamu, Mas Mas.."

Dimas nih kalo ikutan lomba siapa paling mirip setan, setannya sampe dapet juara 2.

Kasihan setan, sudah tidak ada harga dirinya.

Dimas mengepalkan tangannya kuat, ia menatap Dika dengan matanya yang berapi-api, kilatan emosi yang ada di wajahnya itu sangat terbaca sekali.

"Kamu pasti tau, harta yang Mas punya bahkan masih ada sisanya untuk meloloskan diri dari penjara ini. Menyingkirkan Mas dengan cara seperti ini? Bercanda kamu, Dika." Ucapnya lantang seraya cekikikan.

Dokter berparas manis itu menghembuskan nafasnya jengah, ia menarik kursinya sedikit maju dan mencondongkan kepalanya untuk menatap Dimas lebih intens. Kesabarannya itu kini sudah mencapai batas.

"Dengerin aku baik-baik, Mas. Aku datang bukan untuk mendengar binatang membicarakan omong kosong, jika bukan karena Sena, aku gak sudi buat ketemu lagi sama Mas."

Menatap Dimas yang bergeming, Dika menghela nafasnya sejenak sebelum melanjutkan perkataannya.

"Sena kanker, stadium 4."

Dika lagi-lagi menatap perubahan mimik wajah Dimas dengan teliti, rahang yang tadinya mengeras itu terlihat mengendur perlahan-lahan, mata yang menajam bak elang itu juga mulai berubah menjadi sedikit sendu, tangan yang tadinya terkepal kuat mulai meregang satu persatu.

"Kanker paru-paru, Sena ngerokok kurang lebih dari satu tahun yang lalu," Jelasnya tanpa ingin menunggu respon Dimas, "Selama berada di bawah tekanan dan terkurung di dalam lingkaran Setan milik Mas, Sena gak pernah menuntut dan banyak meminta sama Mas, kan? Tapi Sena manusia, Sena juga merasakan stress yang sama seperti kita."

"Sena terlihat baik-baik aja di depan Mas. Tapi kita gak pernah tau, seberapa banyak tangis yang Sena tumpahkan disetiap malamnya, seberapa sakit yang harus Sena rasakan disetiap waktunya, seberapa sulit Sena melapangkan dadanya dan mempertahankan kewarasannya."

Dimas masih bergeming, membiarkan Dika untuk melanjutkan perkataannya, Dika juga tidak memiliki niatan untuk menunggu respon dari Dimas.

"Kemarin Sena masuk ICU, baiknya sekarang sudah dipindahkan ke ruang rawat seperti biasa, tapi belum bangun dari tidur panjangnya."

If I Didn't Wake Up Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang