9. Alan, Sena Sedang Lelah

3.1K 285 10
                                    

Alan dibuat terkejut ketika melihat kedatangan Sena dengan keadaan yang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Tangan kanannya terlihat meremat kuat perut bagian bawahnya. Perasaanya gusar, sebenarnya ada apa? Alan sampai tidak bergerak dari tempatnya selama beberapa detik.

Setelah di acara barbeque tiba-tiba pergi dan beberapa menit kemudian balik lagi untuk melanjutkan acara mereka, lalu mereka pulang ke rumah dan hanya Sena yang kembali lagi kesini dengan keadaan seperti ini.

Saat ditanya kenapa dirinya tiba-tiba pergi ke sekolah, anak itu menjawab ada barangnya yang tertinggal, tapi tentu saja sekolah di jam hampir menuju malam itu sudah ditutup.

Dan Sena kembali ke ruko dengan tangan kosong, tanpa membawa barang yang katanya 'hilang'.

"Bang, gue tidur sini ya." Ucap anak itu seraya menjatuhkan tubuhnya ke sofa.

Alan kembali tersadar ketika Sena berbicara padanya, ia menghampiri anak itu dan bertanya. "Kenapa? Bilang sama gue," Tanyanya penuh selidik.

Melihat tangan Sena yang terus meremat perutnya membuat Alan khawatir, lelaki itu menyibak hoodie yang dikenakan Sena secara paksa. Alan melototkan matanya ketika melihat banyak memar di berbagai bagian tubuh Sena.

Di dalam pikirannya hanya ada 'Siapa yang tega melakukan hal seperti ini?'

"Astaghfirullahaladzim Bang aurat gue!!" Pekik Sena terkejut dengan gerakan tanpa aba-aba dari Alan.

Sena kembali menarik hoodienya ke bawah dan menutupi perutnya yang sempat terbuka karena ditarik paksa oleh Alan. Ia tidak ingin siapapun mengetahuinya, tapi perutnya semakin sakit jika tangannya tidak meremat dan menekan perutnya.

"Tumben lo nyebut?" Respon Alan tak mengarah ke keadaan perut Sena.

"Kalo gue nyebut tiap saat, takut lo kebakaran." Jawabnya enteng.

Alan menimpuk wajah Sena yang hanya terluka di bagian sudut bibirnya saja. "Sialan lo!" Umpatnya yang dibalas dengan ringisan kesakitan.

"Gue masuk UGD jangan nangis lo, Bang." Ucapnya bercanda.

"Males, lo alay." Decak Alan. "Lo dihajar sama preman gang mana sampe kaya gitu?" Tanyanya sambil menunjuk lebam di perut Sena menggunakan matanya.

"Preman rumah gue.." Sena terkekeh, merasa lucu dengan ucapannya barusan.

"Jangan bilang—" Ucapnya terputus, terlalu takut untuk menyebutkan hal yang tabu dari sudut pandangnya.

Sena mengalihkan pandangannya, yang tadinya menatap Alan, sekarang menjadi menatap langit-langit ruangan dengan tatapan kosongnya.

"Kalo diantara gue maupun Shaka punya nilai jelek, sama-sama bakal dijadiin samsak." Ucapnya tiba-tiba bercerita, dan Alan dengan siap sedia untuk memasang telinganya.

"Cuman bedanya, Ayah gak pernah berani ngelukain Shaka di banyak tempat, kalo maunya di wajah, ya di wajah aja, gak akan ke bagian tubuh yang lain. Kalo ke gue, beda cerita.."

Sena menghela nafas sebelum kembali berkata, "Dari atas sampe bawah biasanya kena." Lanjutnya sambil terkekeh. "Alesannya sederhana, karena Shaka lebih bisa muasin Ayah daripada gue."

"Yang lo lakuin tadi?" Tanya Alan mengarah pada saat anak itu tiba-tiba pergi.

"Gue cuman lakuin apa yang harusnya gue lakuin."

"Apa yang lo lakuin?"

"Menjaga Shaka untuk tetap menjadi anak kesayangan Ayah."

"Kenapa?"

"Karena cuman Shaka yang bisa. Gue nggak." Jawabnya diiringi senyuman simpul.

Tak memberikan respon apapun, Alan melangkahkan kakinya ke arah dapur, mengambil beberapa es batu dan handuk hecil untuk mengobati luka lebam Sena dan kembali mendudukan tubuhnya di sebelah anak itu.

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now