22. Sebuah Bukti

3.1K 289 19
                                    

Sena bergerak mundur, langkah Ayahnya terus bertambah dekat dan semakin medekat, hingga tubuhnya tak lagi bisa bergerak ketika punggungnya menyentuh pembatas lantai dua.

Mengedarkan pandangannya ke lain arah untuk menghindari tatapan yang seolah memintanya untuk mati, dirinya yang belum sempat mengetahui keadaan Bundanya tak sengaja melihat wanita yang paling ia cintai itu tengah menghubungi seseorang lewat telepon.

Tanpa menghiraukan Ayahnya dan darah yang mengalir dari pelipisnya, anak itu berlari mendekati sang Bunda dan meraih wajah Ayodhya yang babak belur. Tangannya dengan lembut ngusap pipi yang terlihat memar, menatap darah yang mengucur dari hidung bundanya itu dengan nanar.

"Bun? Ke rumah sakit, ya? Sena panggil ambulance

Belum sempat lagi dirinya mengucapkan sebuah kata, Dimas menarik kaus putih yang dikenakan Sena, dengan bercak darah yang sedikit mengotori pakaiannya, melemparkan tubuh ringkihnya ke arah meja kecil yang terdapat sebuah guci di atasnya hingga guci itu pecah karena hentakan dari tubuh Sena.

Sena meringis, ketika pecahan guci tersebut melukai punggungnya, ia berusaha untuk kembali berlari namun kecepatan dari Dimas membuatnya tak bisa ke mana-mana lagi.

"Ayah! Sena minta maaf, Bunda! Bunda harus ke rumah sakit dulu!" Ucap Sena yang terus menatap pintu kamar Bundanya.

Seolah tak puas dengan darah yang mengalir dari pelipis Sena, pria paruh baya itu menendang perutnya berkali-kali, melemparnya dengan kursi kayu yang ada di ruangan itu. Memukuli wajah putra bungsunya hingga di sekitar salah satu mata anak itu membengkak dan membuat matanya sipit sebelah.

Sena terbatuk-batuk, mulutnya terbuka seolah tak lagi bisa mendapat udara melalui hidungnya yang berdarah. Kepalanya terus ia geleng-gelengkan untuk mempertahankan kesadarannya yang mulai menipis.

"Ay–ah, Bunda.. S-sena mau anter Bunda ke rumah s–sakit dulu. Nanti, A-ayah boleh pukul Sena lagi.."

Demi apapun!

Dimas melototi dirinya dengan matanya yang sangat memerah. Cengkraman tangannya dari kaus yang sudah lecek itu semakin erat membuat Sena kembali terbatuk karena tercekik kerah.

"Muak, saya muak sama wajah kamu yang sok kuat itu!"

Mati sana.

Mati.

Hal yang terakhir kali Sena dengar adalah teriakan Shaka yang berlari menghampirinya.

Shaka, selamatkan Bunda..

Shaka, Bunda kita terluka..

Shaka..

Sebelum akhirnya mata itu benar-benar tertutup, bersamaan dengan kegelapan yang mengambil alih kesadaranya secara utuh.

•••

Gadis cantik dengan rambut yang digerai itu menghampiri sang Ibu yang tengah menyiram bunga di pekarangan depan rumahnya dengan wajah yang berseri-seri.

"Ibu!" Panggilnya semangat.

Wanita paruh baya itu menoleh, menemukan anak gadisnya yang tengah tersenyum lebar padanya.

"Wih, ada apa nih? Diajak ngedate sama Sena?" Tebaknya.

Kana mengulum senyumnya malu, pipinya yang memerah itu terlihat lucu di mata Ayu. Ia mengusap kepala anak gadisnya dengan lembut, "Ibu bener, kan? Nanti ajak Sena main ke sini, ya? Ibu mau ketemu."

If I Didn't Wake Up حيث تعيش القصص. اكتشف الآن