25. Hasil Pemeriksaan

3K 278 16
                                    

"Kenapa lo?"

Itulah pertanyaan yang pertama kali keluar dari bibir Shaka saat memasuki kamar dan menemukan Sena yang tengah menundukan kepalanya di atas wastafel, tidak terdengar tanda-tanda anak itu muntah, tapi sepertinya hanya meludah.

Mendengar suara saudaranya, Sena memutar keran dan membasuh mulutnya menggunakan air. Kakinya ia langkahkan untuk keluar dari kamar mandi dan menjatuhkan setengah tubuhnya di atas ranjang dengan kakinya yang dibiarkan menjuntai.

"Lo punya permen gak?" Tanyanya seraya memejam.

Dahi Shaka yang tengah mengoleskan pomade pada rambutnya itu mengeryit, "Buat apaan?"

"Gue eneg, dada gue sesek." Jawab anak itu seadanya.

Niatnya ingin mencoba mengeluarkan sesuatu yang membuat perutnya tidak karuan, tapi realita terkadang tidak seindah ekspetasi, anak itu bahkan tidak bisa mengeluarkan apa-apa selain hanya ludahnya sendiri.

Disaat dirinya berpikir akan kembali merasa sehat, tubuhnya itu seolah-olah mempermainkan keyakinannya. Ditambah, Sena yang dulu kuat belajar berjam-jam tanpa berhenti, akhir-akhir ini tubuhnya seringkali merasa lemas dan ujung-ujungnya Sena pasti akan memaksakan diri.

Meski berakhir dengan hidungnya yang mimisan tanpa tahu berhenti.

"Gak punya." Jawab Shaka juga seadanya. "Tadi udah coba di keluarin?" Tanya Shaka seraya menghampiri Sena dan duduk di tepi ranjang.

Sena membuka matanya ketika merasakan gerakan Shaka yang terduduk di sebelahnya, ia menatap saudara kembaranya sekilas sebelum matanya ia arahkan untuk melihat langit pagi hari itu di balik jendela.

"Udah, tapi gak keluar."

Tanpa berucap apa-apa, Shaka keluar dari kamar Sena. Entah untuk alasan apa, tapi Sena membuat Sena mencibir.

Tidak perhatian sekali, pikirnya.

Tapi beberapa menit kemudian, Shaka kembali, melemparkan dua buah permen kaki pada wajah Sena yang tengah menikmati sinar matahari pagi.

"Sialan lo!" Dengus Sena seraya mengambil dua batang permen kaki dari wajahnya. "Eh tapi makasih, gue jadi makin sayang sama lo, Ka!" Matanya berubah berbinar saat mendapatkan dua buah permen favoritnya.

"Apaan sih, merinding gue!" Shaka bergedik ngeri.

Terdengar panggilan lembut dari Bundanya di ruang makan, Shaka dan Sena berjalan menuju asal suara dengan saling berdebat satu sama lain. Dika dan Ayodhya yang melihat kelakuan si kembar itu hanya mampu menggeleng dan menghela nafasnya pasrah.

"Sen, nanti sehabis sarapan, dimakan apelnya biar gak terlalu eneg." Peringat Dika setelah Sena duduk di kursi makan.

Sena menolehkan kepalanya pada Shaka yang duduk di sebelahnya.

"SHAKA ANJING LO KASIH TAU OM DIKA?"

"APAAN SIH BIASA AJA NGOMONGNYA BISA GAK?! JIGONG LO KEMANA-MANA BANGSAT!"

"NAWASHAKA NAWASENA BAHASANYA DIJAGA!"

Dika hanya mampu mengelus-ngelus dadanya seraya tersenyum penuh tekanan, mendengar teriakan dari ketiga orang di hadapannya ini membuatnya harus esktra sabar.

Sabar itu indah ya, Om.

•••

Sesuai dengan rencana, mereka berempat berangkat menuju kantor polisi pusat yang tidak begitu jauh dari kediaman Dika. Mereka yang tengah menunggu panggilan itu merasakan ketegangan yang sama, namun berbeda dengan Dika yang justru terus-menerus menatap Sena.

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now