20. Mimpi Kita

2.4K 221 7
                                    

Dika melangkahkam kakinya dengan tergopoh-gopoh masuk ke kamar Sena ketika mendapat telepon dari Shaka, anak itu memberitahu bahwa Sena kembali sakit dengan keluhan yang membuat dokter itu merasa khawatir.

"Om? Shaka harus ke sekolah, bisa titip Sena dulu nggak?" Tanya Shaka yang sedang rusuh memakai jas almamaternya.

Dika mengangguk dengan cepat, "Iya, kamu berangkat aja. Ayah Bunda ke mana?"

Anak itu menggeleng, "Gak tau, Ayah semenjak nyekik Sena belum muncul di rumah. Bunda lagi pergi ke rumah Kakek sama Nenek." Jelas Shaka seadanya.

Terdengar helaan nafas kasar, namun setelah itu Dika mengusap pundak Shaka, meyakinkan Shaka bahwa semuanya akan baik-baik saja dan anak itu mengangguk lalu menyalimi tangan Dika dan bergegas pergi ke sekolah karena sudah siang.

Dokter itu mendekati ranjang Sena, memperlihatkan wajah pucat pasi yang penuh dengan bulir keringat itu dalam diam. Asumsi Dika di awal, ia berpikir bahwa Sena sedang terlelap, namun ketika matanya bergerak terbuka, Dika mendekat dan mendudukan dirinya di ranjang sebelah Sena terbaring.

"Ke rumah sakit, ya?" Tawar Dika dengan lembut.

Seperti dugaannya, Sena menggelengkan kepalanya tipis.

"Sena udah baik-baik aja, Om. Sesek aja sedikit," Jawabnya parau.

Dika memutarkan bola matanya malas, Shaka mengadukan bahwa Sena terbatuk-batuk tanpa henti dini hari tadi, sampai anak itu mendengar suara nafas Sena yang aneh karena mengeluhkan sesak.

"Muntah-muntah lagi nggak?" Tanya Dika memastikan.

"Kemarin iya, sekarang mual aja dikit."

"Terus aja dikit, dikitnya kamu tuh bohong biasanya," Ketus Dika pura-pura merajuk.

Sena tersenyum tipis, "Om kayak bocah sd, Sena aja kalah imut kalo lagi ngambek." Ucapannya terpotong karena terbatuk-batuk, "Kalo Sena yang ngambek udah di lempar tronton sama si Shaka." Lanjutnya seraya terkekeh.

Dika menyemburkan tawanya, "Shaka piskopat!"

"Sena juga masokis Om, mau di apa-apain sama Shaka pasti Sena mah iya-iya aja. Asal Shaka yang lakuin, bukan orang lain." Balas lelaki yang tengah terbaring itu juga ikut tertawa.

Banyak berbincang mengenai hal-hal random yang ada di dunia, entah bagaimana ceritanya Dika berhasil membujuk Sena agar mau pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan darah. Di satu sisi, Dika merasa lega karena Sena menyetujui untuk melakukan pemeriksaan secara medis, di sisi lain, hatinya merasakan kecemasan yang luar biasa.

Sena akan baik-baik saja?

Walaupun belum terlalu lama menjadi dokter, Dika sedikit merasa was-was dengan tanda-tanda yang terlihat dari tubuh Sena.

Apalagi saat melihat sklera, bagian putih yang ada di matanya terlihat sedikit menguning. Walau masih tipis, tapi percayalah, Dika adalah seorang dokter.

"Sen, Om mau tanya boleh?" Dika menatap manik mata yang terlihat sayu itu dengan intens.

"Apa Om?"

"Kalo takdir mengharuskan kamu berjuang berkali-kali untuk tetap hidup, kamu mau menyerah?"

Sena mengkerutkan dahinya dalam, sebelum senyum tipis itu kembali terbit pada bibirnya yang pucat.

"Dari dulu, bahkan sampai sekarang, Sena selalu berjuang, Om."

"Berjuang untuk tetap waras di dunia yang diciptakan oleh Ayah,"

"Berjuang untuk tetap hidup di tengah-tengah dunia yang nggak adil untuk Sena,"

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now