24. Keputusan Sena

2.6K 246 9
                                    

Ruang tengah yang tadinya selalu sepi, kini menjadi sedikit terisi ketika datangnya keluarga dari kakak kandungnya tersebut ke kediamannya yang jarang disinggahi. Mengikhlaskan orang yang ia cintai, bukan berarti Dika bisa mencari pengganti, nyatanya sampai sekarang Dika masih bertahan melajang sendiri.

Sudah lama sejak memutus ikatan dengan keluarga kandungnya sendiri selain Dimas, Dika tinggal sendiri di rumah mewah ini.

Setelah cukup berdiskusi bersama Ayodhya, akhirnya wanita itu menyetujui tawaran Dika untuk tinggal sementara di rumahnya yang tak kalah lega. Semua fasilitas yang diberikan oleh Dimas, ditinggalkan oleh Ayodhya di rumah lama, untungnya wanita itu tidak pernah menggunakan uang Dimas untuk keperluannya karena memiliki tabungan yang terbilang cukup besar untuk menghidupi dirinya selama bertahun-tahun lamanya.

Mereka berempat termasuk Dika, tengah berkumpul di ruang tengah guna membicarakan situasi yang tengah terjadi.

"Bunda mau cerai sama Ayah?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang Sena lontarkan ketika mereka memulai pembicaraan, pertanyaan yang langsung tepat pada sasaran, dan membuat Ayodhya mengangguk sebagai jawaban.

"Maaf ya, Sen, Ka." Sesal Ayodhya seraya menundukkan kepalanya dalam.

Ayodhya merasa diliputi rasa bersalah entah karena apa, padahal wanita itu berhasil membawa kedua anaknya untuk terlepas dari belenggu Dimas. Namun tetap saja, jauh di dalam lubuk hati anak-anaknya, pasti mereka sedih dengan keputusannya untuk berpisah.

Sena mendekat, berjongkok seraya mendongak, menatap wajah Bundanya dari bawah.

"Bun, Bunda berhak mendapatkan kebebasan, Bunda berhak melakukan apa yang menurut Bunda benar, lagipula.." Anak itu termagu sebentar, "Sena gak suka liat Bunda dipukulin kayak kemarin, Shaka sama Sena gak keberatan sama pilihan Bunda. Iya kan, Ka?" Tanya Sena melirik Shaka yang terdiam.

Shaka mengangguk dengan cepat.

Ayodhya menolehkan kepalanya kepada Shaka, "Kamu masih sayang sama Ayah ya, Ka?"

Mendapat pertanyaan yang ingin sekali Shaka hindari, anak itu tidak langsung menjawab pertanyaan dari Bundanya. Ia menunduk, berusaha memperjelas perasaanya pada sang Ayah. Meski perasaan itu terkikis seiring berjalannya waktu, tapi Shaka tidak bisa memungkiri, dirinya masih menyukai kenangan indah yang pernah ia buat bersama Ayah.

"Nggak." Jawab anak itu bulat. "Bener kata Sena, Shaka selalu dukung apapun pilihan Bunda." Ungkapnya kemudian.

Ia sudah menyimpulkan, perasaannya kini hanya belum bisa melupakan kasih sayang dari Ayahnya.

Bukan masih ingin tinggal bersama Ayah.

Dika menghembuskan nafasnya perlahan, menyimak pembicaraan mereka, membuatnya ikut berdebar. Ia merogoh sesuatu dari kantung celananya dan mengeluarkan plastik klip yang berisi dua buah kamera kecil di atas meja.

Melihat Shaka dan Sena yang terlihat bingung, Dika berdeham, berharap sedikit menghilangkan grogi. Karena kali ini, giliran dirinya yang akan berbicara pada si kembar.

"Bunda kalian ingin melaporkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Ayah dan Kakek. Dua kamera kecil ini menyimpan bukti penyerangan terhadap Bunda, yang sudah mereka lakukan setelah bertahun-tahun lamanya. Meski kamera perekam bukti milik Ayah hanya merekam kejadian kemarin." Tutur Dika menjelaskan.

"Ditambah beberapa foto yang memperlihatkan luka-luka Bunda kalian akan kita laporkan juga ke pihak kepolisian, besok. Om harap, Shaka dan Sena mau ikut melaporkan tindak kejahatan Ayah kalian, dan Om yang akan menjadi saksinya."

Shaka melirik Sena yang tidak bergeming, saudara kembaranya itu melamun seraya menatap lantai dengan tatapan yang kosong.

"Sena.. Shaka.. Gimana? Mau?" Tanya Bunda dengan intonasi kelewat lembut, karena tak mendapatkan respon apapun dari keduanya.

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now