14. Salah Masa Lalu?

2.8K 244 15
                                    

"Pak Dimas, disini saya ada untuk mendengarkan anda. Anda ingin suara anda di dengar, bukan?" Tutur seorang lelaki yang masih terbilang muda itu mencoba berbicara dengan Dimas yang kini tengah berbaring dengan kedua tangannya yang diikat tali.

Tak menjawab, pria paruh baya dihadapannya terlihat lemas, tatapan matanya lurus kedepan, sulit untuk diartikan. Psikiater yang masih berumur tiga puluh lima tahun itu dipanggil oleh Dika untuk menangani 'pasiennya' selama hampir tujuh tahun lamanya.

"Suara itu.. Saya mendengarnya." Cicit Dimas pelan.

Psikiater ber-name tag 'Adam' itu tersenyum tipis ketika Dimas mau membuka suaranya.

"Baik, Pak. Sebelumnya, asisten saya izin untuk melepas tali di pergelangan tangan anda, ya? Dia bukan ancaman untuk anda. Anda tenang ya, Pak." Ujar Adam berhati-hati, ketika mendapat anggukan dari Dimas, Adam menghembuskan nafasnya lega dan membiarkan asistennya membuka tali yang melilit pergelangan tangannya.

Terlihat ada luka kulit yang terkelupas di sekitar pergelangan tangan Dimas, asisten psikiater itu membuka kotak P3K-nya dan mengobati luka yang ada di sana.

"Anda mendengar suara apa?" Tanya Adam membawa Dimas untuk kembali berbicara dengannya.

"Manusia itu, bukan.." Kepalanya menggeleng, "Iblis itu, saya mendengar suaranya dengan jelas di sini!" Katanya dengan intoasi bicara yang mulai meninggi seraya menunjuk kedua telinganya.

"Suaranya.. Seperti memenuhi kepala saya, kemana pun saya pergi, suara itu mengikuti saya," Ungkapnya dengsm intoasi suara yang mulai melemah.

"Bahkan di sini, suaranya seperti ingin membunuh saya," Lirihnya menatap ke sekeliling ruangan.

"Ternyata ketika sudah berumur pun, kamu memang tidak pernah ada gunanya."

"Jika aku yang kamu sebut iblis adalah Ayahmu, kamu juga darah dagingku, di dalam tubuhmu itu terdapat darahku,"

"Darah iblis? HAHAHA,"

"Belajarlah untuk menjadi anak iblis yang baik, ya?"

Suara-suara yang terus bermunculan di dalam kepalanya, membuat jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Nafasnya memburu, hanya dengan mendengar suaranya saja ia merasa dicekik sampai rasanya ingin mati.

"Itu tidak nyata." Ucap Adam menatap manik mata yang tengah kehilangan harapan itu dengan tegas.

"Suara yang menakutkan itu, tidak ada di sini. Ini tempat yang aman untuk anda, tidak ada yang akan menyakiti anda di tempat ini." Lanjutnya tenang.

Psikiater itu kemduian bertanya, "Anda ingat Sena?"

"Justru anda yang menyakitinya."

Adam melihat perubahan mimik wajah Dimas yang begitu tegang, selama tujuh tahun menjadi Psikiater pribadinya pria paruh baya dihadapannya ini, membuatnya semakin mengerti untuk beberapa hal yang selalu ia pertanyakan.

Apa metode yang saya lakukan untuk pemgobatan beliau ini salah?

Apa cara yang saya pelajari selama mengemban ilmu psikologi itu kurang?

Kenapa tidak pernah terlihat kemajuannya?

Apa yang salah?

Apa yang saya lewatkan?

"Tolong, konsumsi obat-obatan yang saya beri, lakukan terapi sesuai jadwal yang sudah disepakati, jangan buat saya untuk memberikan laporan palsu tentang kesehatan mental anda kepada Dokter Dika lagi."

Tidak..

Masalahnya bukan saya, tapi beliau.

"Sena maupun Shaka tidak terlibat sama sekali dalam hal ini." Tekannya sekali lagi.

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now