15. Batasan yang Tidak Bisa Dilewati

2.5K 220 12
                                    

Adam menghela nafasnya berat ketika seseorang yang menggunakan jas putih dokter itu mendatangi ruangannya dengan menggenggam sebuah cup kopi yang sudah disedot setengahnya.

Lelaki berumur lima tahun lebih tua itu paham akan apa yang ingin dibicarakan oleh orang di hadapannya.

"Maaf gue ganggu waktu lo, Bang Adam. Tapi lo pasti tau gue datang kesini buat apa," Ucapnya seraya tersenyum penuh arti.

Adam memejamkan matanya selama beberapa detik, kemudian kembali menghembuskan nafasnya ketika merasa siap.

Sepertinya, ini akhir dari kebohongan Dimas?

"Lo mau tanya yang mana dulu?" Tanya Adam menatap lurus pada Dika, siap untuk diwawancara.

Dika terlihat berpikir sebentar, sebelum tangannya ia simpan dibawah dagu. "Lo kemarin ngirim surat keterangan tentang kesehatan Mas Dimas, keterangannya sembuh, kan? Niat gue ke rumah Mas Dimas karena mau mastiin aja, eh malah liat nyekik anaknya sendiri." Jelasnya.

Psikiater itu menggigit bawah bibirnya gugup, mengusap wajah lelahnya beberapa kali, ia bingung menjelaskannya harus seperti apa.

"Abang lo bohong, selama gue jadi psikiater abang lo dari jaman apaan juga, gue gak pernah lihat ada perkembangan sama gangguan mentalnya." Tutur Adam berusaha menjelaskan.

"Sama sekali?" Tanya Dika.

Adam mengangguk, membuat dokter muda dihadapannya itu mendesah berat.

"Kenapa lo nurutin kemauan Mas Dimas untuk bikin laporan palsu ke gue? Gue gak ngerti.." Lirih Dika seraya menekan pelipisnya yang terasa pening.

"Lo gak tau seberapa berbahayanya Abang lo itu," Jawab Adam membuang wajahnya ke sembarang arah.

Tangan kirinya membuka jas dokter berwarna putih itu hingga sebatas siku. Dika melihat luka kering cukup dalam yang memanjang dan menghiasi lengan Adam yang kurus itu terlihat seperti tersayat oleh pisau.

"Gila.. Ini luka dari pisau?" Tanya Dika dengan mulut yang terbuka.

Psikiater itu kembali mengangguk.

Dokter muda itu sampai speechless, ia benar-benar tidak tau harus bereaksi seperti apa. Bulu kuduknya meremang, mendengar penjelasan yang belum tuntas dari Adam saja sudah membuatnya merinding.

"Abang lo nyerang gue setelah gue menolak permintaan beliau tentang pembuatan surat keterangan palsu. Gue gak tau tujuan abang lo ngotot soal itu, gue gak ada pilihan."

"Lo gak lapor polisi?" Tanya Dika seraya menggigiti kukunya, tegang.

"Gue kenal sama Abang lo itu udah lama, nanganin abang lo udah jadi kerjaan sehari-hari gue. Tiap abang lo kumat, dia selalu cerita sama gue," Adam sempat menahan nafasnya sebentar, dan kembali melanjutkan perkataannya.

"Ditambah, gue psikiater. Keinginan gue untuk nyembuhin jiwa Abang lo itu besar, Ka. Boro-boro gue mau lapor polisi, yang ada gue malah punya tekad buat bikin mental Abang lo kembali sehat."

Dika menutupi wajahnya dengan kedua tangan, hembusan nafasnya terdengar berat, ia tidak mengetahui jika keadaan Dimas sudah separah ini.

Ia berpikir bahwa laporan surat keterangan mengenai kesehatan mental Dimas itu benar dan aman-aman saja. Ia sama sekali tidak berpikir semuanya akan jadi seperti ini.

"Salah gue, semuanya salah gue. Andai gue gak memandang masalah Mas Dimas sepele, andai gue rutin temenin Mas Dimas ketemu lo, andai gue bisa melindungi anak-anak Mas Dimas, terutama Sena. Andai gue dulu nekat nikahin Ayodhya, semuanya gak akan pernah jadi kayak gini.."

If I Didn't Wake Up Where stories live. Discover now