"Oh yaudah..."

Sean menyimpan kembali ponselnya ke dalam saku, lalu berniat untuk melanjutkan perjalanan. Akan tetapi, belum sempat ia merealisasikan langkah keduanya, atensinya kembali ditarik oleh suara Seje yang rupanya belum selesai berbicara.

"Gue gak mau ke mana-mana," katanya lagi.

Spontan, Sean yang mendengarnya dan sama sekali tak memahami maksudnya tersebut pun mengerutkan dahi.

"Hm?" tanya laki-laki itu seraya memundurkan langkahnya lagi, mengimbangi Seje.

"Gue udah capek, gue mau pulang sekarang," jawab Seje tanpa sekalipun menatap pada Sean yang terus-terusan memandang ke arahnya. Mencoba untuk membaca ekspresi wajah gadis itu yang memang sudah terlihat begitu dalam ditekuk.

Alhasil, karena Sean tak ingin mood gadis itu menjadi semakin kacau, ia pun memutuskan untuk tidak menyanyai atau mendebat Seje lagi. Maka dari itu, dengan satu helaan napas pelan dan kedua kaki yang ia putar ke arah berlawanan, Sean pun bersiap-siap untuk kembali, seperti yang diinginkan gadis itu.

"Yaudah, kita balik." Katanya pelan.

Tapi Seje yang kemauannya dituruti itu bukan serta-merta menjadi menurut dan ikut dengan Sean yang kini sudah berjalan beberapa langkah tersebut. Gadis itu tetap diam di tempatnya, dengan kedua mata yang masih memandang lurus ke depan.

Melihatnya, Sean lantas berbalik. Dibuat heran dengan sikap Seje yang tak dipahaminya tersebut.

"Kenapa? Kok lo masih diem?"

Pertanyaan Sean yang bernada lembut itu sama sekali tak dijawab oleh Seje.

"Je? Lo bilang tadi mau balik kan?"

"Kenapa lo gak nolak?" bukannya menjawab, Seje justru mengajukan satu tanya bernuansa ambigu yang seketika itu pula membuat Sean mengerutkan dahi, tak mengerti.

"Maksud lo?" tanyanya kemudian.

"Kenapa lo gak menolak sama sekali ketika gue minta buat pulang?"

"Hm?" Jujur demi apapun, Sean tidak tahu harus menjawab bagaimana. Karena sebenarnya, ia yang menurut juga demi menjaga mood Seje yang sedang tidak stabil. Ingin dikatakan yang sebenarnya, tapi Sean enggan Seje justru menyalahpahaminya.

Bukankah selama ini seringkali demikian?

Segala niat baiknya selalu salah di mata gadis itu.

"Gue..."

"Kenapa lo mendadak ngomong baik-baik ke gue? Kenapa lo gak mendebat gue kaya biasanya?"

Oke, Sean semakin tidak mengerti sekarang dengan arah dari perbincangan yang dimaksudkan Seje di sini.

"Bukankah di situasi kaya tadi lo pasti bakal ngedebat statement gue kaya biasanya? Kenapa kali ini lo nurut? Kenapa lo sama sekali gak berupaya buat matahin kemauan gue seperti yang biasa lo lakuin? Kenapa lo mendadak jadi baik kaya gini?" Seje yang sedari tadi menghindari sepasang mata Sean akhirnya kini berujar dengan emosional seraya memandangi kedua mata laki-laki itu yang tampak tak mengerti sama sekali.

"Lo kenapa sih?" tanya Sean akhirnya.

"Gue gak tahu apa maksud di balik sikap lo sekarang tapi please, jangan bikin gue bingung."

"Jangan bikin lo bingung? Memangnya gue ngapain?"

Seje terlihat meremat kedua tangannya, meluapkan emosinya dari sana.

"Tunggu dulu, jadi sedari tadi mood lo yang mendadak begini itu gara-gara ini?" tanya Sean menduga-duga. "Tapi kenapa? Memangnya apa yang salah dari gue?"

RIVALOVA: Should I Marry My Fabulous Rival?Where stories live. Discover now