32. Drama Depan Pintu

Start from the beginning
                                    

Jujur saja, Seje tak bisa memungkiri betapa Juwanda memang terlihat begitu tampan.

Siapapun akan mengakui hal yang sama. Juwanda memang memiliki penampilan di atas rata-rata dengan tubuh tinggi semampai dan wajah tampan yang diisi oleh fitur serba sempurna.

"Gapapa kok, gue gak ngerasa repot sama sekali." Juwanda membalas ucapan Seje seraya menyodori gadis itu sebungkus plastik berisi parsel buah-buahan.

Seje menatap pemberian itu sebentar, sebelum akhirnya kembali memandang pada Juwanda.

"Gak repot apaan lo sampai bawa ginian," katanya, masih merasa tak enak.

"Ya gapapa lah, kan lo sakit. Buah-buahan bagus buat lo."

"Tapi, Wan—"

"Gapapa kok, Je. Serius. Gue gak ngerasa direpotin."

"Tapi guenya yang gak enak."

"Gak enak gimana ah, santai aja. Btw sorry, ya. Gue cuma bisa bawa gituan."

"Ini malah kebanyakan, Wan."

Memang, sekeranjang buah berukuran cukup besar itu agaknya bukanlah sebuah pemberian yang normal ketika seseorang sedang menjenguk orang lain. Ukurannya yang terbilang cocok untuk hantaran itu malah kini membuat Seje agak kewalahan menggendongnya.

"Berat ya? sini biar gue yang bawain," tawar Juwanda yang langsung peka kala dilihatnya Seje mulai tidak nyaman dengan kedua tangannya.

"Eh gapapa-gapapa. Biar gue aja."

Seje pun cepat-cepat menjauhkan tangannya dari Juwanda. Tapi si lelaki yang enggan membiarkan wanita di hadapannya itu merasa kerepotan, telah lebih dulu mendekat dan mengambil alih pemberiannya tersebut. Alhasil, berpindah tangan lah buah-buahan itu tanpa bisa Seje cegah. Menyisakan dirinya yang berdiri di ambang pintu dengan sedikit canggung, karena jujur, posisi mereka yang berdiri berhadapan sekarang agak sedikit membuat Seje merasa tidak tenang.

"Je, sakit lo gimana? Udah mendingan?"

Dan bisa-bisanya, masih dalam jarak sedekat itu, Juwanda menumpukan tatapnya ke sepasang mata Seje sembari menanyainya seperti itu.

Seje yang agak gugup itu pun cuma bisa mengangguk pelan. Tubuhnya tampak ragu bergerak. Ingin segera mundur, tapi ia takut menyinggung sosok di depannya itu. Tapi jika ia tetap berada di posisi yang sama, bibirnya terasa begitu sulit untuk berbicara. Jarak mereka terlalu dekat.

Sampai kemudian, wajah Seje yang mulai berkeringat mengundang atensi Juwanda yang masih tampak begitu khawatir. Tanpa permisi, laki-laki itu pun menggerakkan sebelah tangannya yang tak memegangi keranjang buah ke arah wajah Seje. Ia baru saja berniat untuk memeriksa suhu tubuh gadis itu dengan telapak tangannya.

Namun sayang, niatnya tersebut tak pernah terealisasi karena secara tiba-tiba, satu sosok lain muncul dan menghadangnya.

"Mau ngapain lo?"

Sosok yang bertanya dengan suara rendahnya itu tak lain dan tak bukan adalah Sean. Lelaki yang kini telah memasang badannya di depan Seje dan menghadap pada Juwanda, dengan sebelah tangan yang menahan lengan Juwanda di udara. Tak membiarkan laki-laki itu menyentuh kening Seje yang padahal hanya tinggal tak sampai sejengkal lagi akan sampai.

Mendapati tangannya dicengkeram sedemikian rupa, Juwanda pun menepis tangan Sean dan memundurkan tubuhnya. Menatap pada laki-laki di hadapannya tersebut dengan sorot mata dingin.

"Gue cuma mau meriksa keadaannya," katanya kemudian.

Sean yang hanya mengenakan atasan berupa singlet itu pun melipat kedua tangannya dengan tampang songong.

RIVALOVA: Should I Marry My Fabulous Rival?Where stories live. Discover now