81. D-Day

3.4K 213 6
                                    

EP. 81. D-Day

*********

Malam harinya, Jingga tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Dia berusaha untuk menutup matanya kembali, namun rasa kantuknya hilang begitu saja.

Alhasil, dia hanya berguling-guling di atas tempat tidur untuk mencari posisi nyaman yang memungkinkan rasa kantuk kembali datang.

"Tidur, Ji. Udah malem, besok kesiangan lagi kamu susah Bunda bangunin." Tegur Bunda yang merasa tidurnya terganggu karena guncangan yang diakibatkan Jingga.

"Iya, Bun." Jawab Jingga pelan seraya menghembuskan napas kasar.

Diliriknya Bunda yang terbaring di sebelahnya sudah kembali terlelap. Lalu, dengan gerakan perlahan, Jingga bangun dan beranjak dari tempat tidur menuju kamar mandi.

Selesai dengan urusannya di kamar mandi, Jingga melihat ke kamar tidur sebelah, tampak kakak, kakak ipar, serta keponakannya juga sudah terlelap tidur.

Jingga pun kembali ke kamarnya untuk kembali tidur. Namun, dia menyadari sesuatu. Ada yang hilang dari sana, dia yang tadi tidur diapit kedua orang tuanya, dan sekarang hanya ada Bunda di sana. Ke mana Ayah?

Jingga mengurungkan niatnya untuk kembali tidur dan memilih untuk mencari keberadaan Ayah.

Seketika senyumnya mengembang tatkala dia melihat Ayah sedang duduk di sofa ruang tamu yang terpisah dengan kamar hotel itu.

"Ayah. . . ." Panggil Jingga lirih, membuyarkan lamunan laki-laki paruh baya yang sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri itu.

"Ji, kenapa bangun?" Ayah tersenyum ke arah Jingga yang kini berjalan menghampirinya.

"Aku kebangun tadi, tapi malah nggak bisa tidur lagi." Jingga menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Ayah dengan menyandarkan kepalanya manja di bahu laki-laki yang sudah merawatnya sampai sekarang itu.

"Ayah sendiri kenapa bangun?" Karena yang Jingga tahu, tadi Ayah sudah terlelap bersamanya.

"Hmm, Ayah juga kebangun dan nggak bisa tidur lagi." Jawab Ayah dengan hembusan napas berat.

"Ayah . . . ." Panggil Jingga seraya menggenggam tangan Ayah.

"Iya." Sahutnya lembut, menatap teduh sang anak yang juga sedang menatapnya.

"Makasih, ya, karena udah membesarkan aku sebaik ini." Ucap Jingga dengan suara yang tiba-tiba tercekat, mata jernihnya mulai berkaca-kaca.

"Kok malah nangis? Mata kamu nanti bisa bengkak, lho. Terus kalau mata kamu bengkak, nanti semua orang bilang pengantin perempuannya nggak cantik." Tangan Ayah terulur menghapus air mata yang jatuh membasahi wajah putrinya itu.

"Ayah. . . ." Jingga berhambur memeluk Ayah sambil menangis terisak, entah kenapa perasaannya tiba-tiba menjadi sedih seperti ini. Padahal, tadi sore dia terus tersenyum dengan hati berbunga-bunga karena tak sabar menunggu hari esok. Tapi, saat waktu berjalan semakin dekat, rasanya Jingga tak ingin hari esok cepat datang.

"Heii, anak Ayah jangan nangis." Ayah melepas pelukannya hingga kini pandangannya bertemu dengan Jingga. "Lihat, Ayah aja senyum. Kenapa kamu nangis di hari bahagia kamu?"

"Kenapa Ayah senyum? Ayah terlalu seneng, ya, karena sebentar lagi akan melepaskan anak Ayah yang nakal ini?" Jingga merengut sembari mengusap air mata dengan punggung tangannya asal.

"Iya. Ayah seneeeeng banget karena Ayah nggak akan kerepotan lagi ngurusin anak nakal tukang bikin onar ini." Ayah mengacak-acak rambut Jingga dengan gemas.

Terlihat laki-laki paruh baya itu menahan air mata haru di balik senyum hangatnya. Perasaan Ayah benar-benar campur aduk, antara gembira dan sedih. Gembira karena putrinya akan segera menikah dengan laki-laki pilihannya, dan sedih karena harus melepas putri yang sangat dia cintai pada laki-laki lain.

STILL IN LOVE [END]Where stories live. Discover now