36. Caffeine Effect

3.6K 252 9
                                    

EP. 36. Caffeine Effect

********

Setelah selesai menangani pasien rawat jalan, Jingga duduk di kursi kerja dengan laptop menyala di hadapannya. Jingga menyentuh touchpad dan mulai membuka link untuk menonton drama Korea yang sedang trending saat ini.

Namun, di sela-sela ia menscroll dan membaca beberapa judul drama yang akan ditontonnya, matanya tiba-tiba tertuju pada cincin yang kini bertengger di jari manisnya. Hal ini tentu saja langsung menghentikan aktivitasnya.

Sejenak dia terdiam, memperhatikan cincin yang dua hari lalu Biru sematkan di jari manisnya.

Acara pertunangan Biru dan Jingga berjalan dengan lancar. Walaupun Jingga mendapat beberapa teguran dari orang tua dan kakaknya karena bisa-bisanya dia malah tidur dan terlambat di acara sepenting ini. Tapi itu tak mengganggu kelancaran acara, bahkan dalam acara itu telah menghasilkan kesepakatan antar dua keluarga bahwa dalam waktu tiga bulan setelah acara tersebut, pernikahan mereka akan dilangsungkan.

Tentu saja Biru dan Jingga terkejut. Entah harus senang atau tidak dengan ini, yang jelas hati Jingga begitu gundah.

Jingga berharap sebelum pernikahan dilangsungkan, Biru sudah kembali padanya baik tubuh, hati, maupun ingatannya. Dengan demikian, Jingga tak perlu khawatir akan cinta sendirian lagi. Karena jujur, cinta sepihak itu berat.

Jingga hendak melanjutkan aktivitasnya untuk mencari drama yang akan ditonton, namun dia urungkan tatkala melihat jam di layar laptop yang sudah menunjukkan waktu makan siang. Pada akhirnya, Jingga memilih untuk menutup laptopnya.

Jingga mengambil ponsel untuk melepon Biru, bermaksud untuk mengajak cowok itu makan siang bersama. Kebetulan sekali jadwalnya sampai sore tidak sibuk, mungkin Jingga bisa mengajak Biru makan di luar kalau-kalau Biru ada waktu, atau dia bisa mengajak Biru untuk makan di atap gedung sembari mengingat kenangan mereka saat di sekolah dulu.

"Ya, Ji?" Tanya Biru di seberang telepon.

"Emm, ayo makan siang bareng. Kalau kamu nggak sibuk." Ajak Jingga sedikit ragu, tapi suaranya penuh harap.

"Gimana kalau kita makan siang di atap gedung? Aku bisa ceritain sedikit kenangan kita di sana." Lanjut Jingga semangat dengan mata berbinar.

"Maaf, Ji. Aku nggak bisa." Jawab Biru.

Jingga mendesah pelan, tatapannya nampak kecewa.

"Ohh, ya udah, nggak apa-apa. Kamu masih ada pasien, ya?" Tanya Jingga memastikann.

"Uhm. . . ."

"Ya?"

"Sebenarnya aku tadi udah makan siang sama Luna. Dia bawain aku bekal makan siang."

Jawaban Biru barusan membuat raut wajah Jingga seketika berubah muram.

"Gitu, ya?"

"Hmm."

"Kalau gitu, kamu bisa nemenin aku makan siang, nggak?" Jingga tak menyerah.

"Nggak bisa, Ji. Aku sibuk sekarang. Kamu makan sendiri aja, ya."

Sekali lagi, Jingga kecewa. Tapi dia memakluminya, berpikir pasti Biru sibuk dengan pasien dan tugasnya sebagai Kepala Rumah Sakit.

"Ya udah. Tapi aku bisa minta kamu buat makan malam bareng aku nggak nanti?" Kali ini Jingga berharap Biru mengiyakannya. Jingga sangat merindukan masa-masa di mana mereka makan bersama sambil berkencan.

"Boleh. Kamu yang tentuin tempatnya."

Jingga tersenyum senang mendengarnya, meski hatinya masih sedikit kecewa karena Biru makan siang bersama Luna. Besok-besok, Jingga juga akan membawakan bekal untuknya.

STILL IN LOVE [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora