48. To be Honest

3.3K 222 2
                                    

EP. 48. To be Honest

********

Malam harinya, Jingga datang ke restoran yang sudah Biru reservasi. Tadi pagi saat mengantarnya, Biru mengajak Jingga untuk makan malam di sana. Katanya, itu sebagai pengganti makan malam mereka yang kacau malam itu.

Sebenarnya Jingga ingin menolak, tapi seolah tubuhnya tidak bisa dikendalikan, kepalanya mengangguk begitu saja menyetujui ajakan Biru.

Jingga tampil anggun bak peri dari negeri dongeng dengan mengenakan blouse dan rok floral yang matching bahan flowly. Tak lupa, dia juga memoles wajahnya dengan sedikit make up. Pewarna bibir koral membuat wajah Jingga terlihat lebih segar di keremangan malam.

Cukup lama menunggu, dia bahkan sudah menghabiskan dua gelas jus, namun Biru tak kunjung datang. Dia lihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Itu berarti, Jingga sudah hampir empat jam menunggu Biru.

Berkali-kali juga dia menghubungi Biru. Tapi nomor Biru di luar jangkauan. Jingga hanya bisa menghembuskan napas gusar. Dia ingin pulang, tapi takut Biru tiba-tiba datang.

"Apa dia masih sama Luna?" Gumam Jingga bertanya-tanya, mengingat terakhir kali dia bertemu Biru adalah di atap saat cowok itu mengatakan akan mengantar Luna pulang.

"Mbak, apa mau saya bawakan pesanannya sekarang?" Ini yang ketiga kalinya pelayan datang untuk menanyakan apakah makanan yang sudah Biru pesan harus di bawa ke mejanya sekarang atau tidak.

"Eung, nanti aja, deh, Mbak." Jawab Jingga ragu. "Ohh, iya. Saya mau secangkir espresso, ya." Imbuhnya. Pelayan itu tersenyum sembari menganggukkan kepalanya sopan.

Tak lama kemudian, pelayan itu kembali dengan secangkir espresso di tangannya. Dia kemudian meletakkan kopi tersebut di meja Jingga.

"Terima kasih." Ucap Jingga sebelum akhirnya pelayan itu berlalu pergi dari hadapannya.

Jingga meraih cangkir berisi cairan hitam pekat itu dengan ragu. Seumur hidupnya, ini pertama kali dia mencoba espresso. Meski Jingga tidak terlalu menyukai kopi, tapi dia terpaksa memesan itu guna menahan kantuk yang sudah menyerang dirinya. Dia akan menunggu Biru sebentar lagi.

Jingga kemudian mendekatkan cangkir espresso ke ujung hidungnya, menghirup aroma kopi dari sisi cangkir itu. Sejenak, dia menikmati aroma khas kopi yang menyengat di hidungnya. Sangat wangi, mungkin aroma inilah yang menjadi daya tarik dan keunikan kopi.

Dengan hati-hati, Jingga menyentuh sisi cangkir dengan bibirnya. Rasa yang sangat pahit menyambut indra pengecapnya saat kopi itu mengalir masuk ke dalam mulutnya.

Jika ada Langit atau Hana di hadapan Jingga, mungkin saat ini mereka akan mentertawakannya. Pada tegukan pertama, ekspresi Jingga seperti orang yang sedang minum jamu. Raut wajahnya benar-benar lucu saat lidahnya beradaptasi dengan rasa baru yang tidak pernah menyentuh lidahnya selama ini.

"Yuck, pahit." Jingga sedikit menjulurkan lidahnya. Dia tidak menyukai itu, dalam hati dia berjanji bahkan jika espresso adalah minuman terakhir dan satu-satunya di muka bumi, dia tak akan pernah mau meminumnya lagi. Jingga heran, kenapa minuman ini banyak peminatnya meskipun rasanya pahit?

Jingga meletakkan kembali cangkir espressonya ke atas meja. Dia memandangi cangkir kecil itu. Sudut bibirnya tertarik membentuk senyum miris, espresso ini mengingatkan cintanya pada Biru saat ini, pahit.

Kedatangan pelayan membuyarkan lamunan Jingga, pelayan tersebut mengatakan jika restoran akan segera tutup. Jingga terkesiap, lantas dia lirik jam di tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jingga tak sadar sudah menunggu Biru berjam-jam lamanya.

STILL IN LOVE [END]Where stories live. Discover now