29. The Wallet

3.8K 273 2
                                    

EP. 29. The Wallet

********

Jingga baru saja turun dari mobilnya, dia berjalan untuk masuk ke rumah sakit sembari menerima telepon dari ibunya yang mengeluh khawatir karena dia tinggal di apartemen sendirian.

Sudah lebih dari satu minggu Jingga mulai bekerja di RH Hospital. Jingga memilih untuk tinggal di apartemen yang dekat dengan rumah sakit. Jarak rumah sakit yang memakan waktu lebih dari satu jam dari rumah menjadi pertimbangan Jingga memutuskan untuk memilih tinggal di apartemen.

"Aku nggak ngelewatin sarapan atau waktu makan lainnya. Bunda tenang aja, aku udah gede." Sambar Jingga sebelum sang Ibu membuka suara. Dia sudah hapal karena setiap pagi Bunda selalu mengingatkannya akan hal itu.

"Jangan pernah nyusahin Langit. Langsung pulang ke apartemen kalau udah selesai di rumah sakit. Dan satu lagi, jangan terlalu banyak main dan pulang terlalu malem. Inget, kamu nggak lagi di Amerika!" Pesan Bunda di seberang telepon.

Jingga memutar bola matanya malas seraya mendengus kesal. Rasanya bosan mendengar wanita it uterus mengingatkannya akan hal ini.

"Bun, emang aku masih anak SMA? Tenang aja, aku bisa ngurus dan jaga diri aku dengan baik." Sahut Jingga ketus. "Udah, ahh. Aku harus meriksa pasien. Love you, Bun." Lantas dengan cepat mengakhiri percakapan dan menutup sambungan teleponnya.

"Lagian siapa juga yang nyusahin Langit?" Gerutu Jingga dalam hati, mengingat Orang tuanyalah yang menyusahkan Langit dengan meminta cowok itu untuk tinggal di apartemen yang bersebelahan dengan Jingga dan mengawasinya.

Baru saja kakinya bergerak beberapa langkah, Jingga dikejutkan oleh Biru dan Luna yang turun dari mobil bersama. Sejenak Jingga tertegun, pandangannya bertemu dengan Biru yang kini juga sedang menatapnya dengan tatapan dingin.

"Ayo, Bi." Ajak Luna seraya menggamit lengan Biru.

Cowok itu tampak terkejut, namun dia tak menolak ataupun membalas perlakuan Luna. Hati Jingga berdenyut nyeri melihatnya.

Biru melepaskan pandangannya dari Jingga lebih dulu, kemudian berjalan beriringan dengan Luna, melewatinya begitu saja.

"Dia bener-bener udah berubah, ya?" Gumam Jingga dalam hati. Dia melihat pungung Biru yang kian menjauh dari pandangannya. Raut mukanya berubah sedih, matanya mulai memanas, namun sebisa mungkin dia tahan agar tidak menangis.

Jingga berjalan di koridor rumah sakit untuk masuk ke ruangannya, dia tersenyum dan membalas sapaan setiap orang yang menyapanya.

Kehadiran Jingga di rumah sakit tersebut rupanya disambut dengan baik, terutama di bagian bedah toraks dan kardiovaskuler. Baru saja seminggu, dia sudah terkenal di kalangan Dokter dan Perawat, tak jarang mereka datang ke bagian bedah toraks dan kardiovaskuler, karena penasaran ingin melihat Jingga. Si Dokter cantik dengan segala pesona dan keahliannya yang tak bisa di anggap remeh.

********

Jingga berlari ke ruang ICU dengan memakai jas dokternya. Dia lalu bertanya pada Dokter jaga di sana mengenai keadaan pasien. Dokter laki-laki berwajah manis dengan kacamata menjelaskan bahwa pasien tadi mengalami ventricular fibrilation dan peningkatan tekanan pada arteri pulmonaris. Tetapi keadaannya sudah membaik setelah diberi penanganan.

"Maaf, Dokter. Tadi kami terlalu panik dan langsung menghubungi kamu. Maafkan saya." Ucap Dokter jaga memasang raut wajah bersalah.

"Nggak apa-apa. Hal ini bisa terjadi pasca operasi. Tapi ini bukan masalah umum." Jelas Jingga, dia lebih suka bicara non formal.

"Kondisinya saat ini sudah stabil." Ucap Jingga kemudian setelah selesai memeriksa kondisi pasien.

Jingga berjalan di koridor rumah sakit untuk memeriksa pasien lainnya, Perawat wanita bernama Hana mengikutinya dari belakang. Jingga dan Perawat itu tampak akrab, terlebih dia sengaja meminta semua orang yang bekerja satu tim dengannya untuk tidak bersikap terlalu formal. Hal tersebut semata-mata agar mereka bisa membentuk tim yang hebat dengan suasana pertemanan yang hangat.

STILL IN LOVE [END]Where stories live. Discover now