40. I Won't Let Go

4.4K 270 9
                                    

EP. 40. I Won't Let Go

********

Jingga merenggangkan otot-ototnya yang kaku dengan beberapa gerakan peregangan setelah beberapa saat yang lalu dia keluar dari ruang operasi.

"Capek banget." Keluh Jingga seraya memijat pelan leher dan bahunya, sesekali dia menguap. Padahal ini adalah operasi pertamanya hari itu, tapi dia sudah merasa sangat lelah. Terang saja karena mungkin tadi malam Jingga tidur terlalu larut dan pagi harinya harus bangun untuk kembali bekerja. Lingkaran hitam di bawah matanya membuktikan bahwa gadis itu memang kurang tidur.

"Ini masih siang dan kamu baru selesai satu operasi, kenapa kelihatannya udah kecapekan kayak gitu? Jompo banget." Cibir Bisma yang sejak keluar dari ruang operasi berjalan beriringan dengan Jingga untuk kembali ke ruangan masing-masing.

Kali ini cowok itu kembali menjadi ahli anestesi untuk operasi jantung yang dipimpin Jingga menggantikan Dokter Nadine, membuat keduanya menjadi lebih akrab.

"Tadi malem aku kurang tidur, jadi gini, deh." Tutur Jingga lemah sambil nyelonong masuk ke dalam lift yang Bisma buka, lalu menyandarkan tubuhnya di dinding lift dengan mata setengah terpejam. Demi apapun, dia ingin tidur saat ini juga.

"Emang tidur jam berapa?" Tanya Bisma lagi, ikut bersandar sambil bersedekap.

"Mungkin jam satu malem baru aku baru tidur." Jawab Jingga mengingat-ingat jam berapa dia tidur tadi malam.

"Kamu ngapain dulu sampai tidur malem banget gitu? Bukannya kemarin kamu pulang cepet dari sini, ya?" Bismia ingat betul tadi malam dia berpapasan dengan Jingga di parkiran dan saling menyapa sebelum mereka akhirnya pulang ke rumah masing-masing.

"Aku cuma susah tidur aja, hoaaam." Gadis itu kembali menguap hingga matanya sedikit berair.

"Mungkin kamu terkena gangguan tidur, kali." Bisma mendiagnosis. Jingga tersenyum geli mendengar penuturan Bisma, mengingat dia kurang tidur karena tidurnya terganggu bukan terkena gangguan. Biru sudah mengganggu jadwal tidurnya tadi malam.

"Hmm, maybe. . . ." Jingga menanggapinya diiringi helaan napas lelah.

"Bisa jadi kamu insomnia. Kalau gitu kamu bisa konsultasi sama Biru, dia ahlinya nanganin soal itu."

Lagi-lagi Jingga tersenyum geli mendengar tanggapan Bisma yang begitu serius. Seandainya Bisma tahu kalau yang menjadi penyebab Jingga sulit tidur itu adalah temannya sendiri. Ck, konsultasi apanya?

"Ish, nggak separah itu kali, Kak. Aku cuma kebetulan aja tadi malam susah tidur." Jingga memperjelasnya untuk menenangkan Bisma.

"Ohh. Aku kira sering." Sahut Bisma sambil manggut-manggut.

"Ngomong-ngomong, itu kamu kenapa?" Tanya Bisma sambil mengedik pada tengkuk Jingga yang di tempeli plester besar sebesar koyo.

"Oh ini . . . ." Jingga bergerak gugup sembari memegang tengkuknya

"Tuh kan bener, ini mencolok banget." Jingga menggerutu dalam hati sambil mengerucutkan bibirnya lucu.

"Jingga . . . ." Tegur Bisma menatap heran Jingga karena bukannya menjawab, malah terdiam sambil manyun.

"Eung . . , ini kebentur sesuatu." Jawab Jingga sambil tersenyum kikuk.

"Pasti itu keras banget, ya, sampai luka kamu gede gitu." Bisma meringis, mengira Jingga terluka cukup parah karena plester yang digunakannya bukan ukuran kecil.

"Emm . . . ." Jingga menganggukkan kepalanya ragu. Beruntunglah dia karena Bisma tidak curiga sama sekali. Sepertinya cowok di sebelahnya ini suka menanggapi segala sesuatu dengan serius. Mungkin akan berbeda jika Jingga bertemu Bian, sudah pasti cowok itu akan meledeknya habis-habisan.

STILL IN LOVE [END]Where stories live. Discover now