30. perasaan bersalah

Start from the beginning
                                    

Lelaki itu mengangguk, memasukan suapan terakhir kedalam mulutnya dan meminum sisa air bekas istrinya tadi "Iya, kamu mau titip apa? Biar mas bawakan saat pulang nanti."

Haifa menggeleng, lagi pula semua yang dia butuhkan sudah ada dirumah ini. Dia lalu menatap suaminya, melihat pria itu yang terlihat sibuk mengecek isi tasnya "yang penting mas pulang dengan selamat"

Kevin tersenyum, lalu bangkit dari duduknya, mengelus kepala istrinya dan mendaratkan ciumannya disana "Mas pasti pulang, jangan khawatir. jika bukan ke rumah ini, mas pulang kemana lagi?"

Haifa diam saja, mencoba mempercayai lelaki itu kali ini. tak ingin pikiran buruk untuk pria itu kembali bersarang dikepalanya. "Ya sudah, mas hati-hati. Jangan karena mas bosnya mas berangkat seenaknya sendiri "

Lelaki itu menurut, meraih tas yang ada disampingnya lalu kembali mencium pipi istrinya gemas "Mas berangkat ya, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam" jawab Haifa seraya menyalimi tangan suaminya, membiarkan pria itu pergi untuk mengurus bisnisnya yang dia tinggal beberapa hari untuk mengurusinya.

Selepas kepergian suaminya Haifa bangkit berdiri. membersihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotornya meski dengan kakinya yang belum sembuh sempurna. merasa kasihan melihat wanita paruh baya itu mengerjakan semuanya sendirian. baru saja Haifa  meletakkan piring terakhirnya kedalam rak yang berada didekat tempatnya mencuci piring wanita paruh baya itu datang, membawa ember kosong dari halaman belakang setelah selesai menjemur pakaiannya disana.

Melihat wanita itu yang sudah berniat membuka mulut melihatnya  melakukan ini semua, Haifa  mencegahnya dengan berbicara terlebih dahulu "Cuma sedikit kok bu, ibu jangan khawatir" Haifa berjalan, meraih ponsel yang ada di atas meja makan dan meminta bantuan kepada wanita paruh baya itu untuk membantunya ke halaman belakang, duduk disana menikmati udara yang sudah panas sepagi ini. tak seperti ditempatnya yang akan terasa sejuk dan tanpa polusi udara.

mendengar ponselnya berbunyi Haifa melirik gawainya itu, menemukan panggilan dari nomor tak dikenal yang sudah dia hapal pemiliknya. Haifa menarik nafasnya, mencoba mengumpulkan energi untuk berbicara dengan wanita yang paling dia hindari selama ini. setelahnya dia meyakinkan dirinya, menggeser icon  berwarna hijau itu kekanan dan mengucapkan salam "Hallo, Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikumussalam" wanita diseberang sana menjawabnya singkat.

"Ada apa mba?" Haifa bertanya lembut, mencoba basa-basi dan bersikap seperti sebelumnya kepada wanita itu, tak ingin perasaan marahnya beberapa hari lalu kembali menggerogoti hatinya.

"Haifa,," wanita diseberang sana memanggilnya lirih, Haifa diam saja, mendengarkan wanita itu selesai dengan perkataanya.

"Mengapa kamu tega memisahkan Aira dengan ayah kandungnya?"

Haifa mengerutkan keningnya, tak mengerti dengan apa yang dimaksud mantan istri suaminya itu "Memisahkan bagaimana? Haifa  tidak pernah melarang mas Kevin untuk menemui Aira"

"Sudah dua minggu ini Aira tidak dijemput ayahnya, anak itu menangis karena merasa ayahnya sudah tidak peduli lagi. mas Kevin  lebih mementingkan dirimu dari pada anaknya sendiri"

Haifa  diam saja, tak tahu harus menjawab seperti apa? apakah benar sang suami terlalu sibuk mengurusinya sampai melupakan tanggung jawabnya untuk Aira? jika benar Haifa merasa bersalah kali ini.

"Sebelum kamu datang, hubungan kami masih baik-baik saja meski sudah berpisah. lalu setelah kamu datang, mengapa mas Kevin harus berubah? dan menelantarkan Aira anak kandungnya sendiri" Haifa  mendengar suara wanita diseberang sana yang terdegar terisak "sebagai seorang wanita, harusnya kamu paham bagaima perasaan seorang ibu saat melihat anaknya diabaikan oleh ayahnya sendiri" wanita itu terdengar semakin sesenggukan, mendengarnya haifa jadi merasa tak tega, dia memilih mematikan sambungan mereka, tak igin mendengar lagi perkataan wanita diseberang sana.

Dia mengingat dirinya yang dulu, seorang anak berusia belasan tahun yang diabaikan oleh ayahnya sendiri setelah pria itu menikah dengan wanita yang menjadi ibu tirinya saat ini. apakah kali ini dia juga sudah menghancurkan kebahagiaan anak lainnya demi menghidupkan kebahagiaanya sendiri? membuat anak sekecil Aira harus kehilangan kasih sayang seorang ayah karena ada wanita lain yang menjadi ibu tirinya? dan sayangnya dalam kisah ini dialah yang menjadi pemeran antagonis tersebut. Peran seoarang wanita yang selama ini sangat tak disukainya.

Jari lentiknya dengan perlahan membuka pesan, mencari kontak suaminya dan mengirimi pesan pada pria itu, dia tak berani menelfon karena tahu suaminya masih berada di jalan.

"Mas, nanti temui Aira ya? Haifa dengar dia rindu untuk main dengan ayahnya. Jangan karena Haifa anak itu kehilangan kamu sebagai sosok ayahnya. Haifa tidak mau menjadi ibu tiri yang jahat dan membuat Aira merasakan apa yang Haifa rasakan dulu"

Setelah mengirimkan pesan itu Haifa menghidupkan mode pesawat pada ponselnya, tak ingin diganggu oleh siapapun, perasaanya tak menentu saat ini, apa benar dia sejahat itu kepada Aira? Lalu apa bedanya dia dengan ibu tirinya itu?.

Haifa tidak mau ada Haifa kecil yang lain didunia ini, tak ingin ada anak yang kehilangan kasih sayang ayahnya karena sang ayah sudah menemukan tambatan hati yang lain dan melupakan anak yang butuh kasih sayangnya.

Mengingatnya Haifa menangis, jika bisa memutar waktu Haifa tak ingin memiliki ibu tiri, dan tak ingin menjadi ibu tiri. Tapi, jika dia berpikiran seperti itu bukannya hanya akan membuat dia tak lapang menerima takdirnya, dan berujung menyalahkan tuhan yang telah mengatur semua jalan hidupnya.

Hargai saya dengan cara bantu vote ya.. beritahu juga kalau ada typo..

See you..

Baja NagaraWhere stories live. Discover now