73. KEINGINAN HATI

11.8K 1.9K 112
                                    

Senopati Indra menggenggam tangan Bendara Ayu Diyana dengan sangat erat sambil membawa tubuh pujaan hatinya itu ke belakang tubuhnya sendiri. Di tangan kanannya sudah terhunus keris saktinya, buatan tangan Empu Dharma sendiri. Beberapa prajurit di situ sudah menghunuskan keris mereka pada kedua pasangan itu, memberi ancaman agar tidak melakukan hal nekat. Bendara Ayu Diyana gemetar hebat dan ingin menangis. Namun, Senopati Indra tampak berkeras hati ingin menjadikan sang garwa ampeyan Prabu Aditya menjadi miliknya, tak peduli jika taruhannya adalah nyawanya sendiri.

"Sarungkan keris kalian."

Perintah dengan nada yang tenang itu membuat prajurit di situ langsung menyarungkan keris mereka dengan patuh. Senopati Indra sendiri langsung menjatuhkan kerisnya ke tanah dengan seluruh rasa hormatnya dan berlutut di hadapan Prabu Aditya. Bendara Ayu Diyana juga buru-buru mengikuti Senopati Indra sembari terus menggenggam tangan belahan jiwanya itu.

"Ini masih pagi, Senopati," ucap Aditya lagi sambil mengaitkan kedua tangannya di belakang tubuhnya dan menatap datar ke arah prajuritnya itu.

"Maafkan Hamba, Prabu, tetapi keinginan hati ini tak lagi terbendung," ucap sang senopati dengan nadanya yang lantang dan yakin.

"Ada apa gerangan?" tanya Aditya lagi.

"Hamba memohonkan Bendara Ayu Diyana menjadi milik hamba. Hamba takkan keberatan dengan segala konsekuensi yang Anda berikan, bahkan jika Hamba harus melepas posisi mulia ini," jelas sang senopati lagi sembari mengangkat pandangannya dan menatap tepat di mata sang prabu. Sang prabu tetap berdiri dalam diam tanpa berekspresi apa pun. Diamnya Prabu Aditya adalah hal yang sangat mematikan, sebab senopati Indra sungguh tidak tahu apa yang tengah dipikirkan oleh pria itu. Apa sang prabu akan membunuhnya dan juga Diyana? Itu adalah kemungkinan yang paling nyata, sebab memohonkan garwa ampeyan seorang pria berkuasa adalah tindakan yang sangat tercela dan sama saja seperti pengkhianatan.

"Tidak," balas Aditya tenang, tetapi mampu membuat bulu kuduk Diyana dan Indra berdiri.

"H-Hamba mohon, Prabu," ucap Diyana lagi sambil merangkak mendekati kaki Aditya dan memeluknya dengan erat. "H-hamba bukanlah garwa ampeyan yang disayangi oleh Anda, karena itu, kepergian Hamba tentu... tentu tidak berarti apa-apa bagi Anda."

Aditya membungkuk dan melepaskan rangkulan Diyana di kakinya. "Saya rasa saya sudah cukup jelas mengatakannya," balas Aditya tenang, sambil membalikkan tubuhnya dan berniat melangkah masuk ke pendopo kerjanya sendiri. Aditya tahu jika senopati Indra telah menaruh hati pada Diyana sejak lama, begitu juga sebaliknya, tetapi membiarkan kedua pasangan itu bersatu dapat mencoreng nama baik keraton Surabaya.

"H-Hamba hamil!" seru Diyana lagi dengan suaranya yang gemetar, menahan tangis. Mendengar ucapan Diyana, Aditya merasakan tubuhnya menegang sempurna. Ia membalikkan tubuhnya dengan tatapan tidak percayanya. Kehamilan Diyana, apalagi yang berasal dari pria lain adalah tindakan paling tercela yang pernah garwa ampeyan lakukan. Jika patih lain mendengar ini, mereka takkan segan meminta Diyana untuk diturunkan dari posisinya dan dijadikan budak seumur hidup wanita itu.

"Apa?!" tanya Aditya dengan nada marahnya.

"Jika... jika Anda berniat membunuh Hamba hari ini, lakukan, Prabu! Hamba tak takut mati, jika itu berarti Hamba mampu memperjuangkan cinta Hamba pada Senopati Indra dan juga anak dalam kandungan ini," balas Diyana dengan berani, meskipun matanya berair dan tubuhnya gemetar hebat.

"Tidak!" sela Senopati Indra sambil mendekati Diyana dan memeluk tubuh wanita itu dengan sangat erat. "Bunuh saya saja. Biarkan Bendara Ayu Diyana dan anak saya tetap hidup, Prabu."

Prabu Aditya menggeram pelan, sambil memijat pelipisnya. "Saya tidak pernah marah akan hubungan kalian. Namun, ketika kalian memutuskan hal senekat ini, apakah kalian pernah berpikir konsekuensinya? Dengar, Diyana, sekali pun saya membiarkan kamu pergi bersama Senopati Indra, kamu mengira kamu akan selamat? Kamu adalah kekecewaan bagi keratonmu sendiri. Dan menanggung malu adalah hal yang sangat dihindari oleh orang-orang kerajaan termasuk Rama-mu sendiri. Kamu akan dikejar dan dibunuh juga bersama anakmu pada akhirnya," jelas Prabu Aditya dengan nadanya yang pelan, berusaha sabar.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now