4. KEPUTREN

17.8K 3.5K 132
                                    

Kirana merendahkan tubuhnya hingga ke lantai dan berjalan jongkok masuk ke dalam ruangan yang biasa digunakan untuk berkumpul di keputren. Kakinya gemetar dan beberapa kali ia memang sempat hampir terjatuh karenanya. Kirana bisa merasakan tatapan tak biasa dari sekitarnya, membuatnya yakin bahwa beberapa putri di situ menganggapnya aneh seolah-olah ia adalah siluman. Kirana terus melangkahkan kakinya hingga berada di depan sang wanita utama. Lama menunggu, tidak ada tanda-tanda bahwa sang wanita utama akan menyuruhnya berdiri.

Tak lama kemudian, seorang putri lain masuk ke dalam ruangan itu dan berjalan jongkok sama seperti Kirana. Namun, anehnya, putri itu langsung diizinkan untuk melakukan sungkem dan berdiri, membuat posisi Kirana kian tak nyaman. Kirana ingin sekali mendongak untuk mengetahui kesalahan apa yang sebenarnya ia perbuat. Namun, peringatan Ni Manika membuatnya tetap menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Sang wanita utama berjalan melewati Kirana begitu saja ke meja kudapan sore mereka. Kirana merasakan hatinya mencelus dan kian tidak mengerti harus bagaimana. Suara gelak tawa dan percakapan santun mengalir di meja kudapan itu. Tidak ada satu pun yang membantu Kirana atau menyuruhnya berdiri. Wangi kudapan manis terasa dalam indera penciuman Kirana, begitu juga wangi teh. Dulu, ketika ia menjadi pencuri, teh adalah salah satu komoditi yang mahal dan jika dijual lagi, Kirana bisa membeli makanan untuknya selama dua minggu. Kini, di keraton, teh disantap setiap sorenya.

Tak beberapa lama kemudian, kue basah dilemparkan tepat di depan Kirana. Kirana menatap kue itu dengan wajah kagetnya dan mendongak pada orang yang melemparkan kue itu. Sikap Kirana membuat Ni Manika melebarkan matanya khawatir dan abdi dalem estri sang wanita utama mulai geram akan kekurang ajarannya.

"Pakaian boleh berubah, tetapi asal-usul takkan lepas dari identitas kita. Benar begitu, adik-adik emasku?" tanya Den Ayu Ratna membuat beberapa wanita di situ tertawa.

Kirana menunduk lagi sembari menatap kue basah itu, membuat Ni Manika menghela nafas lega. Lama Kirana menunduk, membuat Ni Manika khawatir wanita itu akan menangis dan mempermalukan dirinya. Namun, dugaannya salah. Malah lebih buruk. Kirana berdiri dari jalan jongkoknya, kemudian membersihkan jariknya dengan gerakan santai. Ia berjalan ke arah pintu, membuat wanita-wanita di situ ternganga akan tindakannya yang tak berbudi itu.

"Bendara... Bendara..." bisik Ni Manika khawatir berat.

Di laur dugaannya, seorang abdi dalem estri menghadang jalan Kirana dan melayangkan tamparan keras. Saking kerasnya tamparan itu membuatnya sampai terjatuh. Beberapa wanita di situ menghela nafas kaget, kecuali Den Ayu Ratna yang tersenyum. Kirana menatap tepat di mata abdi dalem estri itu dengan sorot matanya yang tajam dan menusuk. Hal itu membuatnya dihadiahi tamparan lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ketika tamparan lain ingin dilabuhkan, Ni Manika langsung bergegas memeluk Kirana, menghentikan abdi dalem estri tersebut.

"Mohon maaf sebesar-besarnya pada Den Ayu Ratna atas tindakan yang kurang berkenan ini. Mohon apa yang terjadi hari ini direlakan dan biarkan saya yang mengurus selanjutnya," ujar Ni Manika sembari bersujud dalam-dalam pada Den Ayu Ratna. Den Ayu Ratna hanya terdiam di tempatnya duduk tanpa melepaskan pandangannya dari Kirana yang juga menatapnya berani. Ia menyipitkan matanya tajam melihat tatapan kurang ajar wanita itu.

"Saya akan memaafkan gadis pantai itu jika dia merangkak dan memakan kue dari lantai itu seperti anjing," ucap Den Ayu Ratna yang kembali disambut dengan tawa lembut dari adik-adik emasnya.

"Biarkan saya yang melakukannya," ucap Ni Manika dengan tubuhnya yang gemetar. "Bendara Ayu Kirana adalah orang baru untuk lingkungan keraton. Mohon maklumi kesalahan dia..."

"Saya akan melakukannya, Ni," ucap Kirana memotong perkataan Ni Manika. Tanpa persetujuan wanita paruh baya itu, Kirana berjalan jongkok ke arah kue basah itu, lalu menunduk. Digigitnya kue basah itu seperti anjing dengan hatinya yang begitu panas diliputi perasaan marah luar biasa, tetapi ia tahan.

"Bagus," ucap Den Ayu Ratna. "Gadis pantai tidak akan pernah bisa belajar hal-hal seperti ini, Ni Manika. Ia tidak sepatutnya di sini. Sangat disayangkan waktu Ni Manika habis untuk wanita sepertinya."

Kali ini, Kirana tetap diam, menelan semua emosi dalam dadanya, meskipun ia ingin sekali menampar mulut wanita itu. Ia paham bahwa apa yang ia lakukan berdampak pada orang lain. Kini, semua berbeda. Kirana tidak lagi hanya Kirana. Semua perbuatannya berpotensi menyeret orang lain di dalamnya.

***

Pukulan demi pukulan lidi itu terus berlabuh di betis Kirana, membuat Kirana meringis hebat. Kirana meremas jarik yang ia pakai dengan tubuhnya yang gemetar hebat. Ranti menatap khawatir pada Kirana, tetapi ia sendiri pun tidak bisa melakukan apa-apa selain menonton apa yang terjadi.

"Apa membela diri sendiri adalah hal yang salah?" tanya Kirana berani, membuatnya dihadiahi pukulan dua lidi sekaligus. Ia memekik tertahan dengan kakinya yang gemetar.

"Anda harus belajar, Bendara Ayu," gumam Ni Manika dengan nada seriusnya sembari terus melabuhkan pukulan demi pukulan di betis gadis muda itu. "Keraton tak sama seperti pasar. Bertengkar terang-terangan dan saling melukai secara fisik hanya dilakukan orang rendahan. Dalam lingkup keraton semua berbeda. Semuanya dilakukan di belakang, tersembunyi dan bermain taktik. Senyumlah di depan musuhmu, lalu tusuk dia dari belakang; begitulah peraturannya."

"Tetapi Den Ayu Ratna keterlaluan, Ni," ucap Kirana lagi berusaha membela dirinya dan mempertahankan keras kepalanya.

"Kenapa? Karena dia menyakiti harga diri Anda?" tanya Ni Manika, membuat Kirana terdiam dan menyadari bahwa ia bertindak sekeji itu karena egonya tersakiti. "Jika begitu, maka Anda harus membalasnya dua kali lipat. Dan untuk membalasnya, Anda tidak bisa melakukannya ketika posisi Anda rapuh seperti ini. Anda harus berada di posisi yang setara atau mungkin lebih dari Den Ayu Ratna. Membalasnya terang-terangan dengan posisi rendahan seperti ini hanya akan membuat harga diri Anda semakin tersakiti."

Ni Manika menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya. Diletakkannya kembali lidi tersebut di sisi tubuhnya, sebagai pertanda bahwa hukuman pada gadis muda ini telah selesai. Kirana merasakan kakinya gemetar hebat. Ia perlahan-lahan menurunkan tubuhnya dan duduk di depan Ni Manika. Tatapannya bertemu dengan tatapan serius abdi dalem itu.

"Balas dendam adalah hal paling manis di dunia ini, tetapi... ia membutuhkan pengorbanan besar dan waktu yang tak sedikit," gumam Ni Manika lagi dengan nadanya yang lebih pelan dari sebelumnya. "Kesabaran adalah kuncinya. Jika Anda tidak bisa sabar untuk perkara kecil, Anda tidak akan mampu bersabar untuk perkara besar."

Semua perkataan Ni Manika benar adanya. Kirana masihlah sangat awam untuk dunia ini. Ia boleh memiliki semangat yang besar seperti ombak di kala badai atau memiliki kecerdikan dalam hal mencuri. Namun, jika ia tidak paham bagaimana sistem sosial keraton bekerja, semuanya takkan berguna. Tak peduli ia adalah gadis yang disenangi adipati, jika ia bodoh dan lamban, maka Kirana takkan bertahan lama di lingkungan keraton ini. Keinginannya untuk membalas harga dirinya yang tersakiti membuat Kirana kembali bangkit dan melupakan kerinduannya pada kehidupan lamanya.

Ni Manika benar. Balas dendam adalah perasaan yang kuat.

"Apa hal ini wajar?" tanya Kirana perlahan yang disambut dengan tatapan bertanya dari Ni Manika. "Seorang abdi dalem memukul Bendara Ayu dengan sapu lidi."

Ni Manika menatap Kirana untuk beberapa detik, sebelum senyuman tipis tersungging di wajahnya. Senyuman itu pun juga tersungging di wajah Kirana, seolah keduanya sudah tahu apa yang ada dalam pikiran masing-masing indvidu. Insting Ni Manika tidak pernah salah. Gadis di depannya bukanlah gadis biasa. Gadis ini cerdik dan cepat belajar.

Karena itu, Ni Manika berkata, "Anda akan berterima kasih pada saya untuk ini, Bendara Ayu."

TBC...

Selamat menikmatii✨✨

Jangan bosan-bosan yaww

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now