8. BERKUDA

16.6K 3.6K 138
                                    

Semakin lama, Kirana semakin jauh dari kotanya, jantung hatinya. Perasaan gusar tak kunjung reda dari dadanya. Ia menggenggam erat kalung pemberian sang adipati yang telah ia lepaskan sebelumnya. Tidak ada kabar mengenai kematian adipati dan Kirana berharap hal itu membawa pertanda baik. Ia menoleh ke arah jendela kereta kuda itu dan mendapati abdi dalem khusus untuk keputren tampak kepayahan, karena harus berjalan kaki selama lebih dari 3 jam. Kirana ingin menangis untuk nasibnya dan juga nasib orang-orang yang ikut dengannya. Namun, menangis tentu tidak menyelesaikan masalah dan Kirana kian merana karenanya.

"Bodoh." Ucapan itu membuat Kirana menoleh pada Den Ayu Ratna yang tampak tersenyum getir. "Dasar adipati bodoh!"

"Pelankan suara Anda..." bisik salah seorang wanita di situ dengan wajah takutnya.

"Bukan adipati itu yang saya maksud, tetapi adipati kita," geram Den Ayu Ratna membuat Kirana mengerutkan kening tidak terima. "Memutuskan untuk ikut bertempur dengan wilayah sebesar Kadipaten Surabaya adalah keputusan yang sangat bodoh. Dia kira dia siapa? Arjuna? Dia bahkan tidak cukup cakap dalam berperang."

"Untuk harga diri," jawab Kirana, membela adipatinya.

Den Ayu Ratna tersenyum mengejek, tetapi tak ayal matanya berair. "Ya dan harga diri itu yang kini membuat kita berakhir seperti ini."

"Dia pasti punya alasan," ucap Kirana perlahan yang ditanggapi dengan dengusan mengejek dari Den Ayu Ratna. Tak ada satu pun perempuan di situ yang berani mengeluarkan isi hatinya. Semuanya muram dan memilih untuk tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Tiba-tiba saja kereta kuda itu berhenti. Kirana mengintip dari balik jendela kereta untuk memastikan apa yang terjadi. Seorang prajurit mengetuk pelan pintu kereta tersebut dan membukanya. Tubuh Kirana kembali menegang, sebab ia khawatir sekali apa yang mungkin dilakukan oleh pasukan barbar ini padanya dan juga abdi dalemnya. Pria-pria itu adalah pria yang liar, beringas dan mungkin juga tidak tahu adat. Segala hal yang tidak mungkin pasti bisa terjadi di tangan mereka.

"Jalan semakin berat dan akan melewati lumpur. Bendara sekalian silahkan turun, agar kereta tidak tenggelam," gumam prajurit itu dengan nadanya yang sopan sembari memberi jalan. Kirana turun dari kereta itu dengan diikuti perempuan lainnya. Kakinya yang tidak memakai kasut harus rela menginjak lumpur yang cukup dalam. Beberapa wanita di situ memekik dengan nada jijik ketika kasut mereka tidak sengaja masuk ke dalam lumpur.

"Sebentar lagi kita akan beristirahat di tepi sungai, Bendara sekalian dimohon bersabar. Tidak akan jauh," ucap prajurit itu, seolah tahu apa yang dipikirkan oleh perempuan keputren tersebut.

"Dengan berjalan kaki?" tanya Den Ayu Ratna dengan nadanya yang tidak senang.

"Jika Bendara sekalian berkenan menunggangi kuda bersama kami, maka kami tidak melarangnya." Ucapan itu bukan berasal dari prajurit sopan tersebut, melainkan dari pria pasar itu. Pria itu turun dari kudanya, lalu mengangguk pada prajurit berpangkat tingginya untuk ikut turun. Prajurit-prajurit itu kemudian menawarkan genggaman pada wanita-wanita keputren, menawarkan tumpangan. Awalnya mereka ragu, tetapi akhirnya uluran tangan itu diterima juga.

"Saya akan berjalan bersama abdi dalem saya," ucap Kirana dengan tatapan keras kepalanya yang tertuju langsung pada pria pasar itu.

"Kini, Anda adalah wanita milik Sasuhunan, Bendara," ucap pria itu dengan nada pelannya. "Kami harus memastikan Anda baik-baik saja. Berjalan di tanah berlumpur tanpa kasut bukan keputusan yang tepat."

"Kenapa Anda begitu mengkhawatirkan saya?" tanya Kirana dengan nada menantangnya, membuat prajurit di situ tampak tegang. "Apa setiap luka di tubuh saya seharga kepala kalian?"

Pria itu menyipitkan matanya tajam, sebelum wajahnya kembali tenang. Tak pernah sekali pun, ia menemui wanita keputren yang sekeras kepala ini. Wanita ini selalu menggunakan kesempatan yang ada untuk menguji kesabarannya, dulu di pasar dan kini di sini.

"Kemari," ucap pria itu mengulurkan tangannya pada Kirana. Kirana menatap tangan itu dengan tatapan tidak percayanya. "Jangan salah, Bendara Ayu. Saya senang memaksa orang lain untuk mengikuti keinginan saya," tambah pria itu dengan seringai di wajahnya.

Kirana mengulum bibirnya dengan perasaan jengkel luar biasa. Ia mengabaikan uluran tangan pria itu dan berjalan ke samping kuda tegap tersebut. Dengan sikap kurang ajarnya, Kirana menarik jariknya hingga di bawah lutut, menampilkan kilasan kulit yang tak senonoh, membuat wanita di situ menghela nafas kaget. 

Ni Manika sendiri meringis, ingin mencegah, tetapi tak memiliki kuasa. Kirana naik ke atas kuda itu dengan posisi duduk yang tak seperti putri pada umumnya, yaitu posisi duduk seperti pria dengan kedua kaki di masing-masing sisi tubuh kuda. Di saat wanita keputren lain duduk menyamping, hanya Kirana yang berani duduk dengan gaya berani sepert itu. Ni Manika buru-buru melepaskan kain yang tersampir di tubuhnya dan menyerahkannya pada Kirana, tetapi langsung ditolak oleh gadis itu.

Kain itu malah diambil oleh pria pasar tersebut, sebelum ikut naik ke atas kuda dan duduk tepat di belakang Kirana. Pria itu menyampirkan kain tersebut di pangkuan Kirana untuk menutupi kilasan kulitnya. Kirana terlonjak kaget ketika merasakan sentuhan tak biasa di perutnya. Ia menoleh dan keputusan itu membawa petaka, sebab kini wajahnya begitu dekat dengan wajah pria itu, bahkan hidung keduanya tak sengaja bersentuhan lembut. Pria itu kembali memutukan kontak mata mereka dan memberi aba-aba untuk meneruskan perjalanan.

"Jangan lakukan itu lagi," geram pria itu sembari merapikan kain di pangkuan Kirana.

"Atau... apa?" bisik Kirana dengan nada mengejeknya. "Anda payah dalam mengancam."

Pria itu tersenyum miring sembari mengeratkan genggamanya di tali kekang kuda. Tubuh perempuan itu begitu lembut dan kecil dalam pelukannya, kontras dengan tubuhnya sendiri yang jantan dan tegap. Wangi femininnya juga begitu menyenangkan. Perpaduan wangi melati dan kembang, menciptakan wangi yang harmonis dengan wangi cendana yang menguar dari tubuhnya. 

"Saya memang tidak pandai mengancam, Bendara Ayu, sebab saya adalah pria yang lebih senang bertindak," ucap pria itu dengan senyuman khasnya. "Dan Anda tidak akan menyukai apa yang akan saya lakukan jika sampai hal tadi terulang kembali."

TBC...

Selamat menikmati, jangan bosan-bosan yaww. Dan jangan lupa dukungannya, lop lop.

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now