46. TAMPARAN

14.1K 2.4K 169
                                    

Kirana refleks memejamkan matanya ketika Nyai Suratih mengangkat tangannya, seolah ingin menamparnya. Ia berdiri tegar, bersiap menerima pukulan wanita itu. Lama, Kirana menunggu, tamparan itu tak juga berlabuh di pipinya. Namun, kemudian ia mendengar suara memilukan di sisi kanannya. Kirana membuka matanya dan mendapati Ni Manika telah tersungkur di lantai dengan pipinya yang memerah, bekas tamparan Nyai Suratih. Seolah itu belum cukup, Nyai Suratih kembali menampar Ni Manika, membuat Kirana buru-buru menghalangi wanita itu.

"Nyai!" seru Kirana dengan tatapannya yang tajam.

"Kamu tahu itu tarian untuk penghibur, Ni. Mengapa kamu tidak beritahukan pada saya?!" bentak Nyai Suratih di ruangan bersantai yang mendadak hening. Putri-putri keraton lainnya menonton kejadian sore itu dengan tatapan kaget mereka. Namun, tidak ada satu pun yang berani membuka suara atau melerai. Semuanya menonton dalam diam dan mencatat baik-baik apa kesalahan Kirana, agar tidak terulang lagi ke depannya. Ini adalah pertama kalinya, mereka melihat Nyai Suratih marah besar. Wanita itu adalah wanita yang baik dan sabar, tetapi perbuatan Kirana sepertinya melewati kesabarannya.

"Nyuwun pangapunten, Nyai," ucap Ni Manika, gemetar hebat di tempatnya.

"Ini semua tidak ada hubungannya dengan abdi dalem saya," desis Kirana tajam, kemudian berjalan mendekati Nyai Suratih dengan tatapan beraninya yang kurang ajar. "Jika Anda marah pada saya, Nyai, tampar saya saja."

"Saya tidak akan melakukan itu Kirana," balas Nyai Suratih dengan nadanya yang sama tajamnya. Tensi di ruangan itu meningkat tajam. Kirana dipenuhi amarah, begitu juga dengan Nyai Suratih.

"Kenapa? Karena Anda takut pada Prabu Aditya?" balas Kirana lagi dengan nadanya yang merendahkan. "Saya bukan wanita manja yang senang mengadu, Nyai."

"Setidaknya dengan saya menampar abdi dalem kesayangan kamu, kamu mengerti bahwa perbuatan kamu memiliki konsekuensi, Kirana," balas Nyai Suratih lagi dengan tangannya yang mengepal erat. "Kurang baik apa saya pada kamu? Saya tidak pernah memberi kamu hukuman berat, setiap kali kamu melanggar tata krama di keraton ini. Namun, kini kamu keterlaluan, Kirana!"

"Saya berusaha menyenangkan hati Prabu Aditya," balas Kirana dengan sikap keras kepalanya.

"Tidak!" seru Nyai Suratih dengan pipinya yang memerah karena amarah. "Kamu membuatnya marah besar! Kini, pria-pria itu mengejarmu, Kirana! Mengejar apa yang tidak seharusnya mereka miliki! Ada puluhan rangkaian bunga dan perhiasan yang ditujukan pada kamu pagi ini. Dan jika Prabu Aditya mengetahuinya, pria-pria itu akan kehilangan kepala mereka."

"Salah Kirana? Apa itu semua salah Kirana? Apa yang dirasakan pria itu adalah urusan mereka sendiri. Mengapa hal itu menjadi salah Kirana? Kirana ingin menyenangkan hati Prabu Aditya. Itu saja, Nyai," balas Kirana tidak mau kalah, membuat Nyai Suratih akhirnya kehilangan kendali dirinya.

Amarahnya yang begitu besar membuatnya meledak dan pada akhirnya menampar Kirana juga. Kirana langsung tersungkur di lantai kayu yang dingin itu, tepat di samping Ni Manika. Semua putri keraton di situ menghela nafas kaget. Nyai Suratih pun perlahan menyadari apa yang ia lakukan. Tubuhnya gemetar hebat. Matanya berair. Ia tidak pernah melakukan kekerasan sehebat ini sebelumnya. Perasaan bersalah itu mulai merasuki hatinya. Namun, Nyai Suratih membeku dan tidak bisa melakukan apa-apa.

Kirana memeluk perutnya dengan sikap defensif, khawatir kejatuhannya bisa mencelakai anaknya sendiri. Dan hal itu tak luput dari pandangan Nyai Suratih. Perasaan bersalah itu kian menggerogoti hati Nyai Suratih, menyadari ia menampar wanita yang sedang hamil. Hamil anak suaminya pula.

"Kirana tidak akan meminta maaf," balas Kirana perlahan dengan tatapannya yang tajam dan menusuk pada Nyai Suratih. "Jika waktu bisa diulang, Kirana akan tetap melakukannya. Kecemburuan Prabu Aditya dan perasaan terlarang pria-pria itu bukanlah sesuatu yang bisa Kirana kendalikan."

"Kirana..." panggil Nyai Suratih perlahan sembari berlutut, ingin menyentuh Kirana dan mendapatkan pengampunan wanita itu. Namun, Kirana langsung berdiri dari tempatnya, lalu membantu Ni Manika berdiri. Setelahnya, ia memberi salam sebagai izin undur diri pada Nyai Suratih, lalu melangkah pergi dari kediaman bersantai itu.

Nyai Suratih masih berlutut di lantai kayu dengan tubuhnya yang mendingin. Ia menatap tangannya yang gemetar, tampak menyesali perbuatannya.

****

"Ni, biarkan Kirana..." ucap Kirana dengan nada memaksanya sembari mengamati bekas tamparan Nyai Suratih di pipi abdi dalemnya itu. Di sisi lain, Ni Manika sendiri khawatir pada Kirana yang juga mendapat tamparan dari Nyai Suratih. Anehnya sang bendara ayu lebih memilih untuk mengobati Ni Manika daripada dirinya sendiri. Hal itu membuat Ni Manika semakin sungkan di depan nonanya.

"Sedikit berdarah di ujung bibir," bisik Kirana dengan nada pelannya sembari meraih kain yang telah direndam air hangat di bejana tembikar. Ia mengusapkan kain itu dengan lembut di ujung bibir Ni Manika. Kirana tampak sangat khawatir pada keadaan Ni Manika, tetapi juga masih ada sisa kemarahan di mata wanita itu.

"Bendara Ayu, Anda tidak lebih baik dari Ni Manika," ucap Ranti, yang ditanggapi anggukan dari Ni Manika.

"Setidaknya saya tidak berdarah," balas Kirana singkat, padat dan jelas, membuat dua abdi dalem tersebut langsung bungkam. Kirana tiba-tiba saja kembali diam sembari menatap kain basah di tangannya. Ia menghela nafas kasar sembari mengusap dahinya. "Dengar... maafkan saya..." ucapnya pada akhirnya dengan nadanya yang gemetar.

"Anda tidak perlu meminta maaf..." ucap Ni Manika yang semakin sungkan, begitu juga dengan Ranti.

"Perbuatan saya bisa berpengaruh pada kalian," balas Kirana lagi sembari mengepalkan tangannya dengan erat.

Ni Manika balas menggenggam pundak Kirana dan meremasnya lembut. Hal itu membuat Kirana menaikkan pandangannya hingga bertemu dengan wanita yang sangat ia kasihi itu. Mata Kirana berair dan hati Ni Manika terenyuh karenanya. Ni Manika tersenyum lembut pada Kirana, kemudian berkata, "Jangan pikirkan kami, Bendara Ayu. Anda jelas berada dalam posisi yang lebih berbahaya dari kami."

"Saya... saya... tidak memiliki siapa-siapa lagi yang saya kasihi sepenuhnya selain kalian," balas Kirana dengan air matanya yang menitik. "Saya tidak pernah menginginkan sesuatu yang buruk terjadi pada kalian, bahkan ditampar sekali pun."

"Kami hanya kawula alit, Bendara Ayu. Hal itu sudah biasa kami dapatkan. Jangan khawatir," balas Ranti dengan senyuman hangatnya sembari mengusap lengan Kirana dengan lembut.

Kirana meraih tangan Ni Manika dan Ranti kemudian menggenggamnya dengan sangat erat. Ia menunduk kemudian mencium tangan kedua abdi dalem yang sudah menemaninya, bahkan di masa terpuruknya sekali pun. Hal itu membuat Ni Manika dan Ranti kian panik, karena perasaan sungkan tersebut semakin menjadi-jadi.

"Ketika saatnya tiba, saya pastikan tidak ada lagi yang berani menyentuh kalian barang sehelai rambut pun," ucap Kirana dengan matanya yang berkilat-kilat penuh ambisi, membuat bulu roma Ni Manika dan Ranti berdiri. "Dan jika mereka berani melakukannya, mereka akan menghadapi saya. Janji ini tidak akan pernah saya lupakan sampai saya mati."

TBC...

Hai gaess, maaf kemarin nggak update,  ngueeng ngejar dedlen😭

Semoga suka✨️

PUSAKA CANDRA✔️Where stories live. Discover now