70. TEMBANG

10.1K 2.1K 248
                                    

Kirana semakin sibuk mempersiapkan perayaan hari jadi antara Kadipaten Surabaya dengan Kesultanan Mataram. Semuanya dipersiapkan oleh Kirana dengan sempurna dan tanpa cela. Berbeda dengan Nyai Suratih yang selalu mendatangkan kesenian dari Negeri Timur, kini Kirana lebih banyak menggunakan kesenian lokal untuk dipertunjukkan pada tamunya. Selain itu, Kirana juga memadukan unsur kebudayaan Kesultanan Mataram dan Kadipaten Surabaya, sebagai bentuk jalinan persahabatan yang semakin erat. Kirana tidak boleh gagal dalam acara ini. Perayaan ini harus berjalan sempurna agar Sasuhunan mengakui kecerdasannya dan memberinya gelar ‘Nyai’ itu sendiri.

Kirana yang semakin sibuk membuat hubungannya dengan Aditya kian merenggang. Terlebih, beberapa hari terakhir ini, rumor beredar jika Prabu Aditya mengunjungi kediaman Bendara Ayu Diyana. Bukan hanya sekali, tetapi berkali-kali dan pria itu baru kembali ke kediamannya sendiri ketika subuh tiba. Kirana berusaha untuk tidak mempercayai rumor itu, tetapi kenyataannya ia pernah melihat langsung Aditya yang keluar dari kediaman Bendara Ayu Diyana dalam pakaian tidur pria itu. Tatapan keduanya sempat bertemu sesaat, sampai Aditya memalingkan wajahnya dan mengabaikan Kirana begitu saja.

Perasaan tidak nyaman kembali meliputi dada Kirana. Ia marah, terlebih pada dirinya sendiri, karena sudah merasa cemburu pada Diyana. Kirana tidak seharusnya merasakan perasaan itu. Bukankah sejak awal, Kirana memang tidak boleh menaruh perasaan pada Aditya, sebab ia tahu akhirnya akan begini juga. Namun, ketika semua dugaannya terjadi, Kirana sungguh tidak dapat menahan perasaannya sendiri.

Sejak Aditya mengunjungi Bendara Ayu Diyana, pria itu tidak pernah lagi menginap di tempatnya atau menemuinya. Banyak abdi dalem yang mengatakan jika Bendara Ayu Diyana akan segera hamil sebentar lagi. Sungguh, hal itu tidak boleh terjadi, sebab jika Diyana berhasil melahirkan anak untuk Prabu Aditya, maka posisi Kirana akan melemah.

Kirana tengah menikmati cangkir teh di kediaman bersantai seorang diri, sampai Ni Manika menghampirinya dan membisikkan sesuatu ke telinganya. Kirana mematung, mendengar bisikan Ni Manika. Ia mencengkeram cangkirnya begitu kuat dan memukulnya di meja hingga pecah berkeping-keping dan darah pun menetes dari telapak tangannya. Mata Kirana berair. Nafasnya berat, dipenuhi oleh amarah. Kirana ingin menangis dan meneriaki Aditya, tetapi disinilah dia hanya bisa duduk terdiam dengan perasaan yang meledak-ledak.

Tak pernah Kirana sadari, musuh terbesarnya kali ini bukanlah Ratna lagi, melainkan Bendara Ayu Diyana. Ketakutan terbesar Kirana terjadi; tabib kerajaan memberitakan bahwa sang bendara ayu resmi telah hamil.

***

Kirana menelan ludahnya perlahan, kemudian meremas jariknya. Jantungnya berdegup kencang dan tangannya gemetar. Besar keinginannya untuk menolak ajakan sang prabu untuk meminum teh sambil bersantai bersama di pendopo pribadi pria itu. Sungguh, Kirana sedang tidak ingin melihat wajah brengsek Aditya, apalagi harus berbicara dengan pria itu, seolah semuanya baik-baik saja. Kirana ingin mencakar, memukul dan mencekik Aditya, sebab pria itu telah berpaling darinya meskipun telah mengatakan cinta seribu kali padanya. Dasarnya, semua pria tak ada yang benar. Bisma dan Aditya tak ada bedanya. Pria-pria itu hanya akan baik padanya jika mereka membutuhkan sesuatu darinya.

Kirana memantapkan hatinya, kemudian mengangguk pada abdi dalem kediaman Aditya. Abdi dalem itu langsung  membuka pintu gebyok ke halaman tinggal sang prabu. Kirana melangkahkan kakinya masuk dan mendapati sang prabu tengah duduk bersila di lantai kayu pendopo sambil membaca perkamen yang berada dalam genggamannya. Teh mengepul dan kue basah yang diletakkan di atas meja, menemani kesendirian pria itu. Di depan sang prabu, sudah duduk sang wedana ngalabet yang tampaknya tengah menyanyikan tembang debagai hiburan.

Ketika Kirana sudah sampai di tangga teratas, ia langsung menurunkan tubuhnya dan berjalan jongkok ke hadapan sang prabu. Ia berhenti tepat di sebelah wedana ngalebet. Kirana mengatupkan tangannya di depan hidung, kemudian memberi salam sopanbya pada Prabu Aditya.

PUSAKA CANDRA✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang